Sunday, August 21, 2005

@ 008 : Rezeki (2)

Bersyukur mungkin itu salah satu kuncinya, kita itu kan biasa memikirkan hal-hal yang tidak ada pada kita. Kita tidak pernah memikirkan hal-hal kecil yang kita miliki. Akibatnya kita akan merasa kurang, kurang dan kurang terus. Dikasih uang 500 ribu kurang, 1 juta kurang, 10 juta kurang demikian seterusnya. Akibatnya apa? kita tidak pernah puas dan menjadi kufur bahkan tak jarang timbul rasa iri dengki terhadap rezeki orang lain (naudzubillahi min dzalik).

Kita sering beranggapan, apabila kita mendapatkan sesuatu yang tidak enak maka kita sebut "nasib". Apabila mendapatkan sesuatu yang enak kita sebut keberuntungan.

Lulus sekolah semua mendapatkan kesempatan yang sama ikut tes. Ada yang diterima di perusahaan kita bilang beruntung, ada yang tidak diterima kita bilang nasib. "kita sering menganggap itu baik bagi kita padahal belum tentu sebaliknya juga demikian, Allah lah yang Maha Tahu segala sesuatu". Dari kejadian itu pernahkah kita memikirkan hikmahnya.

Banyak orang bisa lulus ujian dari kehimpitan daripada kelapangan. Diberi harta yang sedikit, banyak sedekah, banyak temen, rajin beribadah. Diberi harta yang banyak malah semakin pelit semakin sombong. Mungkin klise tapi itulah yang banyak terjadi dihadapan kita. Mereka yang kekurangan justru punya rasa solidaritas yang tinggi daripada mereka yang berlebih.

Hidup ini penuh dengan pilihan, bahkan beli sepatu pun kita harus memilih, beli baju juga memilih, pekerjaan kita bisa memilih, calon istri milih nggak ya? (hehehe). Keimanan dan kecerdasan kita yang mendasari pilihan kita. Maka ada pepatah kuno yang cukup bagus. "Tuntutlah ilmu sampai ke Malang" ...;p.

Allah menciptakan dunia ini lengkap dengan sunatullah (hukum) dan inayatullah (lali artinya tapi kalau tidak salah artinya pertolongan ;p) Nya. Contohnya : orang kalau dibacok wetenge (perutnya) itu mati bahasa suroboyonya modar ;p (sunatullah). Tapi ada beberapa orang kalau dibacok wetenge tidak modar (inayatullah).

Sunatullah itu kita jadikan pedoman. Kalau kita mau pandai ya rajinlah belajar, kalau mau kaya ya giatlah menabung, kalau mau istri yang soleh ya jangan nyari di plesiran ato cafe jadilah orang yang soleh. Sederhana, klise ato idealis mungkin tapi memang logikanya seperti itu. Termasuk jodoh dan nasib...

--= zikir, fikir, ikhtiar =--


(dps)

@ 007 : Rezeki (1)

Rezeki sudah ditentukan oleh Allah. Dia Yang Maha Tahu Segalanya. Jadi rezeki saya dan rezeki anda tidak sama, rezeki saya dan rezeki anda tidak mungkin tertukar karena Allah telah menciptakan makhluk lengkap dengan rezekinya. Coba bayangkan seandainya rezeki itu harus berebut. Tapi meskipun demikian kita tidak boleh pasif, harus berusaha (ikhtiar) dan berdoa (tawakkal) sebaik mungkin, masalah hasil kita serahkan kepada-Nya.

Yang sering kita risaukan itu kan hal-hal seperti itu, merasa seolah-olah sudah berusaha dengan keras tapi tidak mendapatkan hasil apa-apa. Bahkan ada yang tidak berusaha mendapat hasil yang luar biasa. Tenaga, pikiran, jiwa dan raga kita kerahkan untuk urusan dunia, repotnya hati juga kita sibukkan untuk urusan tersebut. Akibatnya apa? muncul paradigma seperti tadi, merasa sudah berusaha tapi kok tidak mendapatkan hasil. Semakin kita risau maka kita akan diperbudak oleh pikiran-pikiran seperti itu. Waktu kita akan habis untuk memikirkan hal-hal yang merisaukan tersebut.

Ada sedikit wejangan yang bagus. "Barangsiapa sibuk untuk urusan dunia maka dia akan diperbudak oleh dunia tersebut, barangsiapa sibuk memikirkan-Nya maka dunia akan melayaninya". Wejangan tersebut berarti bahwa kita jangan memikirkan dunia saja sehingga lupa kepada Allah, Tuhan yang membuat kehidupan.

Kita tidak disuruh mencari uang tapi kita disuruh menjemput rezeki...;p*)Aa Gym.

Maka bersukurlah kita yang masih bisa berfikir dan mengetahui mana yang jelek mana yang baik, mana yang bersih dan mana yang kotor. Tidak semua orang mendapat hidayah di dunia ini. Hanya Allah yang Maha Menentukan siapa yang diberi hidayah. Maka kalau kita merasa mengerti kasih tahu kepada yang tidak mengerti, kalau kita merasa kaya bantu kepada yang tidak punya. Kalau kita merasa waras ya jangan bertindak seperti orang gila...;p.

--= zikir, fikir, ikhtiar =--


(c) dps

Thursday, August 18, 2005

@ 006 : Terjajah di Hari Merdeka

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, selalu di puja-puja bangsa. Di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda. Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata.

Dirgahayu ke-60 NKRI, semoga menjadi negara yang "gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo".

Agustus adalah bulan yang menyenangkan selain bulan Ramadhan buatku. Semua ini tak lepas dari perjalanan rohani yang aku alami tentunya.

catatan Agustus 2004, untung masih tersimpan di PC ;p...
Dulu, waktu kecil di Wlingi sebuah desa kecil di kaki gunung Kelud mBlitar, aku termasuk salah satu orang yang paling senang jika bulan sudah Agustus. Kenapa? karena banyak hiburan yang bisa aku liat dengan gratis waktu itu, mulai dari lomba-lomba, karnaval, baris-berbaris dari ibu-ibu sampai pelajar, gugur gunung gotong royong ngecat pager dsb. Maklum org nDeso selalu haus hiburan ;p.

Aura dan suasana seperti itu lama sudah tak aku rasakan sejak aku pindah ke Djakarta. Entah, budaya seperti itu masih ada apa nggak kini? Mungkin ada walaupun tak semeriah dulu ato aku saja yang mungkin sudah kehilangan rasa itu.

17 Agustus 2004 di Kebon Sirih Djakarta, kebetulan aku lagi sendiri di kamar kos. Teman sekamarku (mas Erfan) lagi kerja waktu itu. HHmmmm, Djakarta kadang memang tak memanusiakan manusianya, hari libur begini kok ya masih kerja, apa yang dicari? kadang aku juga tak mengerti...

Dari pagi sampai siang agak sore, aku pelototin TV berharap ada acara yang menayangkan riuh meriah geliat Agustus-an di pelosok tanah air. Jujur saja memang aku lagi rindu banget dengan suasana masa kecilku, dulu.

Kebetulan ada stasiun TV yang menyiarkan perjuangan tokoh-tokoh kemerdekaan, bung Karno, bung Hatta dan Sutan Sjahrir, pikiran ini langsung melayang ke sejarah, seolah-olah aku lagi duduk di bangku kelas. Terlalu berlebih rasanya tapi memang itu kenyataanya.

Orang berjiwa besar (pahlawan), menguras tenaga dan pikiran mengorbankan semuanya hanya untuk satu kata yaitu "MERDEKA". Aku bangga dengan mereka, dengan bangsaku dan nenek moyangku ternyata dulu memang hidup layak (enak) itu sulit, tayangan itu sama dengan cerita bapak dan eyangku dulu, hhmmm...;(.

Dari situ pikiranku kembali menerawang, di jaman sekarang ini sudah sejauh manakah kita mengisi hidup ini dengan sesuatu yang positif? kenapa masih ada yang teler, masih ada gelandangan, masih ada penindasan, degradasi moral, masing-masing tentu punya jawabannya. Yang jelas, jangan pernah meninggalkan sejarah, semoga jiwa dan semangat mereka (baca pahlawan) terus ada dalam dada...
akhir tulisan...

--= sudahkah kita disebut pahlawan, meskipun untuk diri sendiri =--

(c) dps