Friday, May 12, 2006

@ 019 : Majalah Porno

Playboy menjadi masalah yang hangat disamping RUU APP dewasa ini. Kenapa ada golongan yang menolak Playboy, sosiolog Imam Prasodjo mengatakan bahwa Playboy bukan hanya sekedar majalah tapi juga diasosiasikan sebagai simbol "seks".

Menurut Sigmund Freud simbol bukanlah hasil kreasi pikiran melainkan kepingan informasi yang tersimpan dan dimunculkan kembali. Oleh pikiran, kepingan informasi itu diasosiasikan secara bebas dengan berbagai cara sesuai kapasitas pengolahnya. Artinya sebuah simbol secara bebas dapat dimaknai berbeda oleh setiap orang. Dalam dunia simbol fakta adalah persepsi.

Dalam hal ini penulis percaya bahwa pada akhirnya siapa yang berhak menentukan kebenaran dan kebaikan itu adalah penguasa. Maka berlakulah hukum : pasal satu, penguasa selalu benar dan baik, pasal dua : jika penguasa salah dan jelek kembali ke pasal satu. Secara empiris bukti dari hukum ini sangat banyak, penulis tidak membahasnya pada kesempatan ini.

Berdasar landasan tersebut diatas maka penguasa itu haruslah filsuf dan juga rohaniawan karena disini ada tuntutan bahwa penguasa harus bisa bersikap benar dan baik. Benar untuk ukuran logika sedangkan baik untuk ukuran moral. Penulis akan mengulas sedikit tentang benar dan baik. Contoh : Jika tidak mau terkena penyakit kelamin gunakanlah kondom untuk bersetubuh dengan seorang pelacur. Premis ini benar secara logika tapi tidak baik secara moral. Apalagi jika premis tersebut diucapkan oleh penguasa tentu akan tambah tidak bermoral.

"Silahkan membuat pornografi + aksi, legalkan judi dan zina lewat pelacuran daripada duitnya masuk ke selain pemerintah" dari kacamata saya pendapat itu benar secara logika tapi bagaimana menurut ukuran moral ?

Bukankah kita sama-sama sepakat bahwa kejahatan dan kebaikan memang ada dan terus ada. Dalam perdebatan panjang akhirnya semua akan kembali kepada zat yang Maha Benar dan Maha Baik, tapi menyerahkan segala urusan hidup kepada yang transedental adalah suatu bentuk kemalasan manusia, ujar Marx. Penguasa dituntut untuk menjaga keseimbangan.

Kembali ke masalah Playboy...
Butuhkah kita membaca Playboy ?
Apakah untuk membaca "informasi sex" seperti dalam Playboy kita harus impor ?

(c) dps ~
Palmerah

@ 018 : Seputar Pornografi

Apabila kita menempatkan kasih di atas segala-galanya, yang menjadi persoalan adalah apakah kita dapat mengasihi pemerkosa, perampok dan pembunuh sadis?

Para moralis menganggap bahwa yang namanya kebaikan adalah mengasihi orang lain, merindukan orang lain, mencintai orang lain, menyayangi orang lain, menolong orang lain dan berbagi kata kebajikan dan kasih sayang lainnya (Inu Kencana Syafiie)

Bukankah brutal perasaan kita apabila yang kita rindukan, sayangi, cintai, dan tolong itu adalah seorang pemerkosa dan pembunuh yang memperlakukan dengan sadis korbannya,misal dengan memotong kuping, kemaluan (mutilasi) dan tidak peduli apakah yang diperkosa itu adalah anak, saudara atau orang tuanya. Lebih2 jika hal ini terjadi karena industrialisasi pornografi dan aksi yang menggurita...;(

Dari situ diperlukan marah, benci bahkan perang bila perlu terhadap berbagai pelaku tindakan dekadensi moral. Maka sebagai tindakan antisipatif diperlukan hukum, menurut saya.

Jika melihat dari kacamata ini rasanya kurang pas jika masalah pornografi dan aksi dikaitkan dengan Islamisasi negara, pelarangan kebudayaan tradisional, pembunuhan kreatifitas (seni). Memang RUU APP masih memuat pasal2 yang pro kontra di dalamnya tapi meskipun demikian keberadaannya bukan tidak diperlukan.

Dari dulu, di irian pake koteka tidak jadi masalah, di jawa pake kemben tidak jadi masalah, candi2 ada relief bugil tidak jadi masalah, kitab yang disebutin gus dur "cabul" tidak jadi masalah. Dari sini sebenarnya "Porno" itu sejak dulu tidak jadi masalah.

Akan menjadi masalah jika "porno" itu sudah menjadi komoditas yang dibungkus industrialisasi. Bicara industri maka kita bicara hegemoni, gombalisasi, liberalisasi, kapital, buruh dan moral.

Suatu saat orang pake "BH" ke mal itu adalah wajar (mungkin ini sudah terjadi), trus free sex itu juga wajar. Dari sini kita sudah terhegemoni oleh budaya yang liberal...;(

(c) dps