Tuesday, October 02, 2007

@ 048: Lagi Puasa

Mas blognya kok gak diupdate, banyak kerjaan ya?
enggak kok, cuma lagi puasa

Lagi puasa apa gak dapat ide ngoret-oret?
lagi puasa

Lagi puasa apa males nulis hayo?
lagi puasa

Lagi puasa apa patah hati, hihihi suit-suit?
lagi puasa

Mas gila ya?
lagi puasa

Mas, sadar-sadar?
lagi puasa

Mas, heehh tangi2 kebakaran2?
lagi puasa

@#$&>#@%$#^%$#?
???

-dps-

Monday, September 10, 2007

@ 047 : Bejo Mencari Tuhan

Bejo mengembara mencari Tuhan. Katanya Tuhan ada di tempat ibadah. Bejo segera bergegas. Sampai di tempat ibadah matanya menyalak, memperhatikan dengan serius tapi dia tidak menemukan Tuhan. Yang dilihat hanya sekumpulan orang yang sedang berdoa.

Bejo keluar, melanjutkan perjalanannya. Perjalanan yang dia sendiri tak tahu sampai kapan akan berakhir.

Waktu telah berganti hari. Sudah dua kali matahari muncul dari ufuk Timur. Di jalan, udara mendidih. Panasnya bisa membakar kulit. Di tengah terik seperti itu Bejo beristirahat di bawah pohon mangga. Raut mukanya kusut, kelelahan terbakar letih.

“Kisanak bangun kisanak, silahkan istirahat di dalam” terdengar suara membuyarkan mimpinya.

Bejo terbangun dengan kaget. Spontan dia pasang kuda-kuda. Matanya mencari sumber suara. Jangan-jangan rampok, desahnya dalam hati.

“Tenang kisanak, tidak ada bahaya. Maaf kalau mengagetkan. Perkenalkan, nama saya Sarinem”.

Mendengar suara kedua, sikap Bejo berubah drastis. Dari siaga sempurna kembali ke wajah malasnya. “Ooo, tidak papa. Saya juga minta maaf sudah tertidur di pekarangan nyisanak tanpa izin. Nama saya Bejo” balasnya.

Itulah awal pertemuan Bejo dengan Sarinem. Gadis desa yang berwajah pas-pasan, pas ayunya.

“Dari tadi saya perhatikan dari dalam rumah, sepertinya kisanak kelelahan. Saya tidak tega. Udara di luar sangat menyengat, tidak baik buat kesehatan. Mari masuk, istirahat di dalam”.

Suara Sarinem sangat dingin, menetes membasahi kerongkongan Bejo yang kerontang. Entah kenapa Bejo mengikuti begitu saja langkah Sarinem menuju rumah. Suara Sarinem sepertinya mengandung tenaga dalam dan telah membius Bejo.

Sampai di dalam rumah, Bejo heran. Kok masih ada orang baik seperti Sarinem. Dari tingkah polah dan penampilan sepertinya dia bukan orang sembarangan, kanuragannya pastilah tinggi. Bejo membatin.

“Mohon maaf, kalau boleh saya tahu. Nama desa ini apa ya?” tanya Bejo penasaran.

“Desa Makmuroto. Penduduk di desa ini pekerja keras semua. Namun, di musim panas seperti ini mereka biasanya bermalasan di rumah. Kalau juga boleh saya tahu, kisanak hendak pergi kemana?”

“Entahlah, saya tidak tahu. Saya hanya ingin mencari Tuhan. Apakah nyisanak tahu, dimana Tuhan berada?”

“Istirahatlah dulu barang sebentar. Saat letih sudah hilang silahkan kisanak melanjutkan perjalanan. Kamar itu sudah lama tidak ada yang meniduri, namun masih sering saya bersihkan. Saya akan buatkan kopi kalau ada perlu apa-apa tiup saja seruling ini” ucap Sarinem tidak menjawab pertanyaan Bejo sekatapun.

Seperti tadi, suara Sarinem kali ini masih sama dinginnya. Bejopun seperti terhipnotis, mengikuti apa yang dikatakan Sarinem, menuju pembaringan dan merebahkan tubuhnya yang sudah lama payah.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara dari balik cahaya.

“Wahai jiwa yang sedang gelisah, untuk apa kamu mencari Tuhan”.

“Saya ingin bertanya kepada-Nya, kenapa di bumi ini manusia membuat kerusakan, bahkan saling bunuh atas nama Tuhan” jawab Bejo.

"Ouw, ketahuilah wahai jiwa yang gelisah. Sejatinya Tuhan ada di dalam hati setiap manusia. Hati adalah misteri terbesar bagi manusia itu sendiri. Jika kamu bisa memecahkan misteri itu mungkin kamu akan menemukan Tuhan. Sayang, hati suka terselimuti kabut tebal. Sehingga manusia tidak bisa lagi membedakan antara yang haq dan bathil. Itulah kenapa angkara murka merajalela. Oleh karena itu, hanya mereka yang berhati bersihlah yang bisa merasakan-Nya. Tuhan tidak bisa dilihat dengan kasat mata, sebab Tuhan hanya bisa dijumpai setelah semua urusan di bumi ini tamat”

Bejo terperanjat. Bersamaan dengan itu, hilang pula suara dari balik cahaya. Juga musim panas, pohon mangga, desa Makmuroto, Sarinem dan rumahnya. Yang tinggal hanya dirinya sendiri bersama keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Detak jantungnya tak teratur, Bejo menggigil bingung.

Salam Bingung

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 08 September 2007 00:22

Wednesday, September 05, 2007

@ 046 : Ciuman dan Film

Dewasa ini kita sedang menuju zaman kebangkitan, kebangkitan dunia perfilman Nusantara. Aneka film diproduksi. Lusinan judul tersaji di bioskop. Genre seks dan horor paling banyak dan mendominasi.

Digemari adalah kata kuncinya. Jika sebuah film sudah digemari maka harapannya adalah dikonsumsi. Di sinilah transaksi jual beli terjadi. "Kenikmatan" ditukar dengan uang.

Apakah produk tersebut harus mencerdaskan (jadi tuntunan sekaligus tontonan)? Idealnya sih iya, ini kalau produser mau mencerahkan. Tapi jika tidak, pun bukanlah soal. Yang penting film tersebut laku jual.

Di negeri ini, hiburan adalah barang mewah. Tidak hanya lapar, rakyat juga sudah rakus akan hiburan. Merasa hidup terhimpit, rakyat membutuhkan obat penawar kepedihan. Obat itu mereka temukan dalam bentuk pil hiburan.

Yang sehat tentu tak membutuhkan pil tersebut. Mereka mempunyai daya tahan cukup prima, punya mazhab sendiri. Sayangnya, jumlah golongan ini masih sedikit.

Berciuman, Keberanian/Kebodohan?
“Di film XYZ ada adegan ciuman. Di situ anda kelihatan intim dan syur. Kenapa anda berani memerankan adegan tersebut? Bagaimana proses itu terjadi?” tanya seorang reporter.

“Sebenarnya saya tertarik dengan skenarionya. Jalan ceritanya bagus. Perannya menantang. Itu cuma akting. Nggak ada perasaan apapun. Kita berciuman karena memang tuntutan peran, sebatas profesionalitas saja. Chemistry datang karena kita sering ngobrol” jawab si artis ngeles.

Edan, benar-benar edan. Bagaimana tidak? Seseorang berlainan jenis, bukan keluarga, berciuman dengan sengaja di depan kamera. Hasilnya ditonton orang seantero negeri, kok disebut berani.

Sedihnya lagi, perbuatan tersebut dibilang hanya akting, tidak melibatkan rasa dan itu berarti profesional. Kalau begini apa bedanya dengan pelacuran!

Jelas ini adalah pembodohan. Nilai-nilai luhur berusaha digeser dan dilengserkan. Keberanian yang dulu identik dengan perjuangan para pahlawan, kini disamakan dengan ciuman. Sebuah proses pembodohan yang nyata.

Jika berciuman seperti diatas adalah wujud dari keberanian, kenapa semua orang tidak mau melakukannya? Kenapa orangtua/guru tidak mengajarkannya? Kenapa di tempat ibadah tidak diserukan?

Mengenaskan memang, kenapa anda tidak mau jujur mengaku bahwa saya ikhlas melakukan ini karena uang, bayarannya besar. Dengan demikian masalah menjadi terang. Janganlah berlindung atas nama akting dan profesionalisme.

Sadarkah anda bahwa dengan beradegan ciuman itu berarti anda benar-benar telah melakukan suatu perbuatan, yaitu mencium lawan main anda. Mau memakai perasaan atau tidak ini soal lain. Esensinya terletak pada perbuatan yang dilakukan. Jika anda berhubungan intim lalu direkam oleh kamera dan mendapat honor yang besar apakah itu juga disebut akting?

Oleh karena itu pertanyaan dan jawaban yang pas adalah kenapa anda mau bertindak bodoh “berciuman” di depan kamera? Karena saya dibayar mahal.

Sadarlah!
Negeri ini adalah negeri Timur, punya adat dan budaya sendiri. Biarkanlah negeri ini maju dengan identitasnya sendiri. Tidak perlu kita contoh adat dan budaya asing yang tak sesuai.

Kita semua mahfum negeri ini masih susah. Oleh karena itu, kita rindu karya yang membangun. Kita rindu orang yang jujur. Tidakkah kita bosan mendengar berita pemerkosaan?

Apa yang harus dilakukan rasanya tidak sulit. Jika dunia perfilman masih menyuguhkan “cium-ciuman” maka tidak usah kita tonton. Menontonnya berarti kita telah ikut andil melanggengkan pembodohan di negeri ini. Bisa?

Perlu diketahui juga dengan menonton film tersebut, hanya akan membuat orang yang “cium-ciuman” itu menjadi kaya. Lebih kaya dari petani yang memproduksi beras. Lebih kaya dari guru yang mencerdaskan tunas bangsa.

Efeknya, kelak anak cucu kita tidak mau jadi petani, tidak ingin jadi guru. Padahal, kedua orang tersebut nyata kontribusinya bagi kehidupan. Nah, apakah gejala seperti ini sudah terjadi?

Salam Terjadi

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 04 September 2007 23:20

Sunday, August 26, 2007

@ 045 : Ikhlas

Sore itu cuaca cerah. Angin sepoi-sepoi datang menghantam dinding padepokan Lingi. Padepokan ini terletak di desa Wlingi, desa yang berada di kaki dua gunung, Kelud dan Kawi.

Di balai kayu di depan padepokan Bejo sedang leyeh-leyeh ditemani oleh Kisareh. Saat itu Bejo tingkat empat, usianya masih sangat belia.

Ngger” sapa Kisareh.
Inggih Ki” jawab Bejo pelan.
"Ngger, wong lek amal kuwi kudu sing ikhlas, ikhlas kuwi koyok wong mari nang kali buang reged. Mari ditokne yo wis, ora usah dieleng-eleng maneh opo dicritak-critakne" suara Kisareh sejuk membawa petuah.

Terjemahan :
“Nak” sapa Kisareh.
“Iya Ki” jawab Bejo pelan.
“Nak, orang kalau amal itu harus ikhlas, ikhlas itu seperti orang habis dari sungai buang hajat. Setelah dikeluarkan ya sudah, enggak usah diingat-ingat lagi atau diceritakan kemana-mana” suara Kisareh sejuk membawa petuah.

Bejo hanya diam saja sambil manggut-manggut menelan petuah Kisareh.

Salam manggut-manggut

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 26 Agustus 2007 15:03

Tuesday, August 21, 2007

@ 044 : Hobi Menghina, HP Hilang

Saya punya pengalaman unik nich. Saya punya seorang teman sebut saja namanya X. Saya dan X ini sering makan di warung pinggir jalan. Entah pecel lele, ayam goreng, tahu campur, rujak cingur dan lain-lain.

Namanya juga nggirlan (pinggir jalan) pengemis dan pengamen itu buaanyaaak banget, belum makan saja kami sudah dihibur gitar dan suara merdu. Kadang juga ditungi kotak amal oleh bocah kecil berpeci atau berjilbab yang sangat lucu dan imut sekali.

Si X ini menurut saya punya tabiat yang jelek yaitu sering nggerutu kalau didatangi artis dadakan ataupun pengemis. Dia bilang dasar orang maleslah, gak mau kerja, badannya masih seger kok ngemis dll, yang intinya umpatan-umpatan lah. Buru-buru ngasih dolar eh rupiah ding :)

Saya sering mendinginkannya. Maksud saya, ya sudahlah kalau ndak mau ngasih duit mbok ya jangan ngumpat-ngumpat dan merendahkan kayak gitu. Hal seperti itu gak baik. Dalam harta kita itu kan juga terdapat hak orang lain, kalau diminta orang kecil gak boleh, bagaimana kalau nanti diminta Tuhan dengan paksa. Bersikaplah yang sopan dan baik kepada orang kecil seperti mereka.

Kamu itu orang terdidik dan kantoran, tidak seperti mereka. Apapun alasannya hidup di jalanan seperti mereka itu sangat keras.

Tapi namanya juga watak susah diubah memang. Tetap saja, kalau saya makan sama si X hal seperti di atas masih sering dia lakukan. Pendek kata teman saya ini selain acuh juga susah banget (cethil) ngluarin rupiah untuk artis dadakan pun pengemis. Banyak pemikiran dan pertimbangan, mungkin serupa dengan waktu dia ngerjain soal matematika saat Ebtanas.

Suatu ketika, X mengeluh.
X : HP ku ilang.
A : Kok bisa, dimana? kapan? bagaimana?
X : Tadi waktu naik bis, dicopet orang.
A : Hhhmmm (dalam hati untung cuma HP kalau mobilmu yang ilang gimana, makanya jangan suka menghina sama orang kecil).

Apakah ada korelasinya antara HP hilang dan hobi menghina orang kecil, terserah kepercayaan anda saja?

Salam kepercayaan

(k) dps~
Kebon Sirih - Jakarta, 21 Agustus 2007 15:45

Thursday, July 26, 2007

@ 043 : Fauzi Namaku

Makanan khas Jawa Timur seperti rujak cingur dan tahu campur adalah makanan kesukaanku. Malam hari di jalan Garuda Kemayoran, ada satu warung yang menjual menu tersebut, lumayan enak. Karena cacing di perut sudah minta makan dan yang diminta adalah rujak cingur maka aku sempatkan mampir di warung langganan tersebut.

Belum lama duduk dan makananpun belum datang artis ibukota sudah menghibur dengan lagunya Peterpan Bintang di Surga.

Jreng..
Lelah tatapku mencari
Arti untukku membagi
Menemani langkahku
Namun tak berarti

Kuperhatikan tangan terampil itu memetik dawai dari kunci Em F G Bm.

Beberapa menit berlalu datang bocah kecil memakai kaos MU bertuliskan Beckam bercelana pendek dan sandal jepit.

Om makan dong Om” teriaknya lirih sambil mengatungkan tangan. Aku tatap bocah itu dan bilang “tadi temennya dah minta tu”. Om makan dong Om” teriaknya lagi. Aku diamkan saja (sebenarnya ngetes sampai sejauh mana dia bertahan). “Om makan dong Om” teriaknya lagi masih dengan tangan ngatung.

Naluri kebapakanku muncul, hal ini sering aku biarkan bahkan sampai terpupuk :)

Aku(A) : Namanya siapa?
Bocah(B) : Fauzi Om
A : Fauzi siapa?
B : Rahmat Fauzi jawabnya lugu
A : Fauzi sekolah?
B : Iya Om..
A : Kelas berapa?
B : Kelas Enam
A : Sekolahnya dimana?
B : Kemayoran Timur
A : Kenapa Fauzi kok minta duit?
B : Buat beli buku Om
A : Ahhh boong, buat jajan ya, ledekku sambil tersenyum
B : Enggak Om, kalau jajan minta sama Bapak
A : Emangnya dikasih sama Bapak
B : Dikasih Om
A : Dikasih berapa?
B : Seribu
A : Buku apa yang mau Fauzi beli?
B : Sejarah sama Bahasa Indonesia
A : Harganya berapa?
B : 36.500 Om
A : Fauzi Bapaknya kerja apa?
B : Tukang pijit Om
A : Kalau ibunya?
B : Ibu nggak ada Om, jawabnya polos
A : (Mak deg, jgn2 cerai) Lho kemana? (Waktu nanya ini gak tega, takut melukai hatinya, duh Gusti ampuni hambaMu ini)
B : Udah meninggal Om
A : (Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Rojiun) Fauzi, duitnya dikasih sama Bapak ya?
B : Enggak Om, Fauzi simpan sendiri di tas
A : Buat apa?
B : Buat beli buku, jawabnya datar dengan kepolosannya
A : Fauzi habis SD mau nerusin ke SMP
B : Enggak Om, katanya Bapak mau di pesantrenin
A : Pesantren mana?
B : Daerah Tasik
A : Fauzi sekolah yang pinter ya..
B : Iya Om (Lalu dia melangkah pergi menuju warung sebelah)

Fauzi, sedini itukah kamu harus bekerja keras. Andai saja Om punya banyak duit, andai saja Om punya sekolahan?

Salam andai

(k) dps~
Garuda - Jakarta, 26 Juli 2007 22:45

Wednesday, July 25, 2007

@ 042 : Di Sebuah Lampu Merah

Hari itu pagi sudah bercampur siang, mungkin jam menunjuk pukul 10. Di hari Senin seperti ini seperti biasa geliat ibu kota semakin menggairahkan. Ribuan manusia beraktifitas demi sesuap nasi dan seteguk kesenangan. Ada yang terlihat semangat dan banyak juga yang bermalas-malas ria.

Kota yang terbesar di negeri ini seperti menyimpan gula berton-ton, menarik segala semut dan seakan tak pernah habis meski digerus terus setiap hari. Di hari Senin tepatnya di perempatan Senin ku lihat adegan yang menarik diantara geliat ribuan orang tersebut. Sebuah mobil mercedes benz tertahan oleh lampu merah, di dalamnya hanya satu orang yang merangkap sekaligus sopir. Seorang pria dengan kemeja putih dengan dasi warna gelap menghiasi tubuhnya. Melihat penampilannya yang penuh dengan barang kaum jetset aku percaya orang dibalik kemudi tersebut pastilah berduit banyak.

Sementara, hanya beberapa cm dari pria tersebut berdiri seorang ibu yang lusuh, tepatnya di depan kaca jendela mobilnya. Apa yang dilakukan ibu tersebut yaitu hanya mengulurkan tangannya, berharap belas kasih dan rasa iba dari si pengemudi mobil tentunya. Siapa tahu kecipratan rupiah yang bisa digunakan untuk mengisi perutnya demi menyambung hidup atau membiayai anaknya yang mungkin sangat berprestasi di sekolahan. Ibu seperti ini sering dicap sebagai sampah masyarakat, biang kejahatan dan makhluk yang menjijikkan yang seakan-akan seperti kecoak yang harus ditumpas habis.

Dari kejauhan aku perhatikan terus adegan apa yang berikutnya bakal terjadi. Apakah si pengemudi itu memberi uang atau mengacuhkannya. Lama ibu tersebut terpaku di depan kaca mobil merci itu. Pikiranku mulai liar dan hal ini sering aku biarkan. Lamunanku mulai mengarah ke internet, teringat tentang berita-berita himbauan agar jangan memberi duit kepada peminta-minta, anak jalanan, pengamen dll. Hal itu hanya akan membuat mereka males, tidak mendidik dan tetek bengek lainnya lah.

Lama mataku terus mengamati peristiwa demi peristiwa, di dalam mobil si sopir diam saja sementara si ibu juga masih bergeming di tempatnya. Lampu berubah hijau dan mobil itupun melesat tanpa mengeluarkan rupiahpun. Rupanya bagi pengemudi tersebut uang serupiah itu amat sangat berharga, sehingga tak boleh keluar cuma-cuma meski diiming-imingi pahala. Rupanya untuk mengeluarkan uang seribu rupiah buat peminta itu butuh pertimbangan yang ekstra, mungkin tidak seperti waktu beli kue J-CO atau kopi starbuck.

Melihat akhir dari adegan itu, dadaku sesak dan senyumku semakin kecut. Sudah susah rasanya timbul belas kasihan seandainya mobil merci itu tabrakan terlindas tronton ataupun busway.

Sementara tanpa kenal lelah di tengah panas yang menyengat, debu dan lautan karbondioksida jalanan, si ibu itu pindah tempat dan mulai beranjak dari mobil ke mobil lagi jika lampu merah menyala. Sambil tetap berharap kecipratan rupiah dan pasrah kepada Tuhan-Nya yang Maha Penyayang. Duh Gusti, apakah memang begitu berat mengeluarkan uang seribu itu...

(k) dps~
Palmerah - Jakarta, 23 Juli 2007 07:16

Sunday, June 10, 2007

@ 041 : Perempuan, Uang dan Cinta

Kalau ada ciptaan Tuhan yang paling menarik perhatian sepanjang masa, maka itu adalah perempuan. Tidak ada habisnya perempuan diperbincangkan : kecantikannya, perilakunya, perannya, seakan belum ada pengertian yang menyeluruh tentang perempuan.(Rena Herdiyani)

Membahas perempuan memang tak lekang oleh zaman, layaknya cinta dan seks. Tak pernah ada kata cukup dan bosan. Pesonanya yang luar biasa bak bunga yang menghipnotis lebah.

Sebelum membuat lukisan yang indah seorang pelukis membuat sketsanya terlebih dulu. Apakah lelaki merupakan sketsa dari perempuan. Barangkali, perempuan memang salah satu karya surga yang diciptakan Tuhan di bumi.

Modifikasi Tubuh
Di era materialisme, setiap hari kita dicekoki oleh pencitraan bahwa perempuan yang ideal itu adalah yang bertubuh langsing dan berkulit putih. Tidak hanya itu, wilayah pinggul dan dada juga tak lepas dari perhatian. Hal tersebut mudah kita temukan pada media cetak (koran, tabloid, majalah), media elektronik (TV, radio, internet) dan media massa yang lain.

Karena kita sudah mabuk berat, kitapun mengangguk sepakat dan menganggap itu semua adalah suatu kewajaran. Bahkan kebenaran, yang mau tidak mau harus diterima.

Tubuh dan seksualitas perempuan dieksploitasi dan dijadikan komoditas yang tak kalah hebat dengan migas. Daya tarik fisik ditonjolkan dan diproduksi secara besar-besaran lewat industrialisasi. Cara berpakaian, memotong rambut, merias wajah, bahkan sampai urusan ranjangpun semuanya harus patuh kepada pemilik modal.

Di sini ekonomisasi berlangsung. Tubuh perempuan dijadikan komoditas guna memenuhi permintaan pasar, yaitu fantasi liar lelaki. Anehnya, perempuanpun seiya sekata. Ikut larut orgasme menikmatinya, tidak semua memang.

Pencitraan yang demikian sudah melekat kuat dalam benak masyarakat. Pesona tubuh diletakkan dalam nilai tertinggi. Cream pemutih, obat (makanan, minuman) pelangsing, sampo pelurus rambut, suntik silikon, botox , operasi plastik, kaos udel, celana pinggul (hipster) sudah akrab dikonsumsi perempuan kita hingga laris manis seperti ketupat lebaran.

Ekonomi berbiaya tinggi bukanlah soal. Uang “gampang” dicari. Perempuan ikhlas mengeluarkannya berapapun jumlahnya. Tak peduli uang tersebut dicari dengan tetesan darah, air mata, keringat hingga “tetesan” yang lainnya.

Punya uang berati bisa “cantik” tidak punya uang simpan dulu rasa ingin itu. Jika sudah begini, buang jauh-jauh namanya moralitas seperti keimanan, kesopanan, kesalehan, kepandaian dan ke-an yang lainnya. Hal tersebut tidak laku disini.

Menggapai Cinta
Dalam budaya seperti ini, urusan cinta juga harus menyesuaikan pada aturan. Perempuan rela memodifikasi tubuhnya semaksimal mungkin. Semakin dekat dia dengan apa yang dicitrakan maka semakin besar peluangnya untuk mendapatkan cinta.

Tidak cukup sampai disitu. Barang yang “baik” juga harus dipasarkan, bukan. Meski sudah menjadi kualitas unggul tahan malu nilai jual tetap harus ditingkatkan. Asasnya, semakin banyak permintaan berarti semakin tinggi nilai jualnya. Perempuan paham akan hal ini. Mulailah dia menawarkan tubuhnya secara terbuka.

Wejangan ibunda tercinta waktu di desa : “Nduk, dadi cah wedok kuwi ojo seneng towo-towo karo bocah lanang” hilang begitu saja. Padahal entah berapa lembar rupiah yang telah dikeluarkan ibunya untuk menyekolahkan, belum lagi kucuran air matanya. Tapi, setelah menjadi “orang” rupanya kata-kata tersebut terlalu susah untuk dipahaminya.

Dalam dunia seperti ini, sebagai calon pembeli lelaki mengerti betul hukum tersebut. Semakin dia punya uang berarti semakin bisa dia mendapatkan perempuan yang selaras dengan fantasi liarnya. Tubuh dan uang membentuk cinta. Tubuh yang aduhai ditukar dengan lembaran-lembaran rupiah diatas nama cinta.

Dengan demikian, tidak perlu lagi perasaan dan emosi. Bahkan juga tak butuh simpati dan empati yang terlibat. Sama seperti pelacuran, cuma yang ini legal.

Karena uang dan cinta sudah berkawan akrab maka mahzabnya adalah ada uang mas aku cinta, tak ada uang mas ngiler aja.

“Untukmu yang wanginya tak pernah habis kuciumi setiap hari”

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 10 Juni 2007 02:00

Wednesday, June 06, 2007

@ 040 : SBY dan Hak Interpelasi DPR

Presiden SBY memutuskan tidak hadir dalam sidang interpelasi masalah nuklir Iran yang digagas oleh DPR. Pemerintah mengirimkan tujuh menterinya. Sidang berlangsung panas dan diwarnai interupsi. Untuk menghindari kericuhan, lampu ruang sidang sempat dimatikan oleh sekjen.

DPR tidak bisa menerima ketidakhadiran presiden. Dianggap presiden telah melecehkan wakil rakyat. Sidang paripurna akhirnya ditunda dan diserahkan kembali ke Bamus (Badan Musyawarah) untuk dijadwal ulang.

Pada hari yang sama, presiden menggelar konferensi pers di kantornya. Dalam pernyataannya beliau mengatakan sungguh-sunguh ingin menjawab pertanyaan DPR dengan baik dan tepat. DPR diminta untuk membenahi masalah internal yang terjadi.

Masalah internal itu terindikasikan lewat penundaan sidang akibat adanya perbedaan interpretasi dalam memahami tata tertib. Ali Mochtar Ngabalin dalam kupas tuntas mengatakan tidak ada masalah internal dalam tubuh DPR.

Apa susahnya SBY hadir? Menurut Andi Malarangeng ada tiga landasan. Pertama, tradisi politik sebelumnya membenarkan hal ini. Kedua, tata tertib membolehkan. Dan yang terakhir, dalam sistem pemerintahan presidensiil presiden hadir ke DPR hanya satu kali dalam setahun. Yaitu setiap tanggal 16 Agustus ketika presiden menyampaikan anggaran.

Sampai saat ini, Presiden SBY tercatat sudah empat kali menghadapi sidang interpelasi. Keempat sidang tersebut yaitu : kebijakan pergantian panglima ABRI, impor beras, terjadinya busung lapar dan dukungan terhadap resolusi DK PBB terkait isu nuklir Iran. Semuanya tidak ada yang dihadiri secara langsung oleh presiden.

Drama berlakon eker-ekeran telah dipertontonkan oleh para elite di negeri ini. Hal seperti itu bukanlah teladan baik bagi rakyat Indonesia yang pada dasarnya cinta damai bukan cinta keributan.

Apakah sebenarnya yang diperebutkan dari semua ini. Tidak mudah untuk menjawabnya. Politik adalah sesuatu yang susah ditebak seperti sepakbola. Di dalam politik mengenal suatu teori tidak ada kawan ataupun lawan yang ada hanyalah kepentingan.

Lantas kepentingan apa itu? Upaya delegitimasi presiden sebelum waktunya. Kucuran uang yang mengalir saat sidang. Langkah mengamankan posisi bagi politisi untuk periode mendatang. Ketidakpuasan akibat pergantian kabinet beberapa waktu lalu. Atau perjuangan aspirasi dalam rangka membangun komunikasi politik.

Jika konflik politik tingkat tinggi seperti diatas terus dibiasakan dan dipelihara tentu stabilitas nasional akan sering terganggu. Kalau sudah begini, bagaimana pemerintah bisa melaksanakan pembangunan. Jika pembangunan tersendat, bagaimana nasib rakyat kecil? tetap terlindas, tragis dan mengenaskan, bukan.

Kawula alit / rakyat kecil tidak mengerti apa-apa. Yang mereka butuhkan adalah kesejahteraan lewat terjaminnya kebutuhan pokok. Cukup sandang, cukup papan, cukup pangan, cukup pendidikan dan kesehatan. Untuk mewujudkan hal tersebut tentu diperlukan suasana yang kondusif.

Kenapa kita bangsa yang pada dasarnya adalah bangsa yang ramah, sopan santun dan selalu bergotong-royong, bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan tiba-tiba menjadi bangsa yang suka ribut.

Rakyat (khususnya saya) sangat merindukan pemimpin / pemegang amanah yang jujur kepada dirinya dan rakyat kecil. Kejujuran yang mulai langka tergerus kemunafikan. Kejujuran yang harus kita lestarikan mulai dari diri sendiri, hal terkecil dan sekarang juga. Ingat, kelak setiap diri akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir.

(k) dPs~
Kemayoran - Jakarta, 06 Juni 2007 - 04:00

Monday, June 04, 2007

@ 039 : Memberi Nama Anak

Nama adalah doa. Kepercayaan itu telah mengakar kuat di benak masyarakat sejak dahulu hingga kini, seolah kekal tak lekang terlindas zaman. Jika tidak percaya tanyakan kepada mbah buyut, eyang, pak dhe, bu lek, teman atau tetangga asal jangan pada rumput yang bergoyang saja.

Seorang anak berhak memperoleh nama yang baik. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “seseorang datang kepada Nabi(SAW) dan bertanya,”Ya Rasululloh, apa hak anakku ini?” Nabi SAW menjawab,”Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu)”.” ( HR Aththusi ).

Berdasar hadis tersebut tidak diharuskan memberi nama anak dengan bahasa Arab. Artinya orang bebas memakai bahasa apapun (syaratnya harus baik) saat memberikan nama kepada anak. Bisa bahasa Jawa, Madura, Sunda, Batak dan lain sebagainya. Dari sinilah proses sesat pikir sering terjadi. Akibatnya muncul pemahaman dan kepercayaan bahwa nama anak dengan bahasa Arab itu lebih baik daripada bahasa yang lainnya.

Di Arab orang mengumpat, dugem, menggoda cewek, marah-marah, atau berdoa di gereja menggunakan bahasa Arab. Orang acap kali salah mengerti. Bahasa Arab disakralkan karena anggapan kitab suci ditulis dengan bahasa tersebut. Padahal bahasa Arab adalah hanya bahasa biasa, layaknya bahasa-bahasa lainnya. Islam tidak hanya identik dengan bahasa Arab.

Zaman sekarang, mengapa orang tua lebih senang memberi nama kepada anak jika tidak kearab-araban ya kebarat-baratan. Fenomena apakah ini, mari kita telusuri bersama.

Relegius atau Ingin Dianggap Relegius?
Adanya anggapan bahwa nama anak berbahasa Arab itu lebih relegius. Orang tua memberi anaknya nama dengan bahasa Arab dengan motivasi ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungannya. Pengakuan tentang relegiusitas terhadap keluarganya.

Seolah-olah semakin aneh bin njlimet nama seorang anak berarti semakin agami kehidupan suatu keluarga tersebut. Pengakuan seperti ini yang diinginkan. Keagamaan diletakkan pada nilai tertinggi dalam sebuah keluarga meski hanya syariat atau simbolisasi saja. Hal seperti itu adalah borok yang harus disembuhkan.

Tidak semua demikian memang sebab ada juga orang yang benar-benar relegius yang memberi nama kepada anaknya menggunakan bahasa Arab.

Kenapa peristiwa seperti diatas bisa terjadi? Hal ini tak lepas dari terjadinya pembaharuan dalam memahami ajaran Islam. Pembaharuan tersebut mengajak setiap manusia agar kembali mengamalkan Islam secara total. Baik dari segi negara, hukum, ekonomi hingga ruang pribadi sekalipun. Termasuk urusan memberi nama kepada anak.

Islam yang dimaksud disini adalah Islam yang sama dan sebangun dengan Arab. Mereka beranggapan kebudayaan yang Islami itu adalah seperti di Arab.

Kaum pembaharu ini biasanya memanjangkan jenggot, dahinya hitam karena ngapal. Sementara yang perempuan berkerudung gombrong / lebar. Waktu ngobrol lazim terselip kata ikhwan, akhwat, antum dan ana (untuk kata ganti laki-laki, perempuan, kamu dan saya). Ikhwan dan akhwat tidak mau bersentuhan saat berjabat tangan sebab menurutnya hal tersebut tidak diperbolehkan. Pendeknya mereka menunjukkan identitas Islamnya secara tegas. Islam yang sama dan sebangun dengan Arab.

Modern atau Ngawur?
Pada golongan kedua terdapat orang tua yang memberi nama kepada anak ala kebarat-baratan. Sama seperti penjelasan diatas bedanya disini motivasi orang tua tersebut adalah modernitas. Nama Indonesia asli seperti Bejo, Cecep, Hutagalung dianggap kuno dan kadaluwarsa. Ibarat barang yang tak mempunyai nilai jual.

Pandangan seperti ini tak lepas dari globalisasi tentunya. Kemajuan dunia barat telah menciptakan kiblat baru. Seperti agama, kemajuan tersebut juga menembus ruang pribadi keluarga. Sampai urusan memberi nama kepada anak. Orang tua seperti ini biasanya adalah bule Indonesia.

Apakah memang betul nama Robert itu lebih modern daripada Bejo. Suatu kemajuan atau kengawurankah ini? Tak usah dijawab simpan saja dalam hati.

Hilangnya Budaya
Jika hal-hal seperti diatas terus terjadi maka hilanglah budaya asli kita yang konon adi luhung. Kelak kita akan menyaksikan Sharon Ashiyah Keizha dengan rambut disemir merah, memakai celana levis sedang makan pizza hut sambil minum kopi starbucks diiringi musik hip-hop di sebuah X mal.

Sementara itu dilain tempat terlihat pria berpenampilan gaya Arab. Namanya Fakhri Ghassan. Ia berkenalan dengan sohibnya disebuah acara kajian. Ucapnya : "Nama ana adalah Fakhri Ghassan bukan Pahri Hasan, ikhwan dan akhwat sering salah sebut lho, jadi harap antum faham ya".

Jika kedua orang tersebut adalah peranakan bule atau Arab tentu wajar-wajar saja. Tapi jika bapaknya asli Wlingi-Blitar dan Ibunya asli Solo tentu ini tidaklah lucu.

Selain doa nama juga merupakan identitas. Untuk dijadikan pembeda antara manusia satu dengan yang lainnya. Antara orang Indonesia, Arab atau Barat.

Makanan asli kita terpinggirkan, bahasa kita tersisih, pakaian kita tergusur dan gaya hidup kita terimitasi. Jika nama kita juga tergadaikan lantas bagaimana kita dikenal sebagai orang Indonesia.

Dalam hal pelestarian budaya, disadari atau tidak orang tua yang menamai anaknya dengan bahasa bangsa Indonesia yaitu bahasa Jawa, Madura, Sunda, Batak lebih berperan dibanding dengan orang tua yang menamai anaknya dengan bahasa Arab atau Barat.

Bagaimana dengan nama Sabklitinov yang berarti Sabtu Kliwon Tiga November...

(k) = karya

(k) dPs~
Palmerah - Jakarta, 05 Juni 2007 - 18:00

Friday, May 25, 2007

@ 038 : Satu Wanita Dua Lelaki

Sebut saja namanya Susi. Usia masih muda sekitar 20 tahun, berparas ayu dan segar. Tubuhnya penuh lekuk, tatapan matanya menggoda dan senyumnya menantang. Wajar membuat otak lelaki berfantasi liar. Pesonanya bak magnet, menarik semua besi. Sebuah keindahan yang tercipta dalam wujud ragawi seorang perempuan.

Susi, mahasiswi sekaligus karyawati. Tinggal sendiri di sebuah rumah kos. Sore itu dia pulang dengan mobil diantar oleh seorang lelaki paruh baya, panggil saja om Joni. Mungkin 50 tahun sudah ada. Pagi harinya, om Joni datang lagi menjemput lalu pergi membawanya entah kemana.

Susi punya seorang pacar sebut saja Jono. Dia sering datang kerumahnya, kadang hampir tiap hari. Entah apa yang dilakukan mereka, mungkin hanya mengobrol, tak tahulah? Pulang sampai larut sudah kebiasaan Jono, pernah juga dia terlihat menginap.

Jono tahu kalau Susi sering diantar jemput oleh om Joni. Rupanya Susi adalah wanita simpanan om Joni, hal inipun Jono mengerti. Tidak mudah membuktikannya, seperti gosip yang nyata saja. Ini sudah menjadi rahasia umum.

Rasa penasaran sering menggelitik untuk mencari jawab. Ada apa dibalik ini semua. Apakah yang dicari Susi? Kenapa bisa begitu mudahnya dia memberikan kemaluannya. Apakah aliran duit dari om Joni dan sekaligus cinta dari Jono. Tak sesederhana itu memang, barangkali hanya Susi sendirilah yang bisa menjawabnya.

Seandainya ini terjadi atas nama kemiskinan sungguh sangat perih dan menyesakkan. Apakah kemiskinan harus dijadikan pembenaran lagi, aku semakin tak mengerti.

Bagaimana dengan Jono, apa pula yang dia inginkan? Apakah keindahan tubuh Susi ataukah cintanya, entahlah.

Kehidupan Susi dan Jono sepertinya sudah demikian bebasnya, hingga tak kenal lagi batas. Anehnya, orang sekitar membiarkannya, termasuk aku. Apakah ini yang disebut dengan modern, aku rasa bukan.

Atau, mungkin zaman edan itu memang benar-benar ada. Satu wanita untuk dua lelaki, sesuatu yang sulit diterima tentunya. Hhmm, rupanya norma, cinta dan uang sudah meleleh, lebur dan cair dalam birahi.

Mengusir, mengucilkan, menghina, merendahkan atau mencambuknya apakah itu sikap yang pantas, mungkin. Mungkin ya mungkin tidak? Bukankah pendosa juga merindukan jalan-Nya untuk menuju pulang.

Kemarin berhembus berita yang tidak jelas, Susi hamil. Benarkah berita itu, biarkan waktu yang akan menjawabnya. Seandainya saja benar, lantas siapa yang akan menjadi bapak buat anak Susi kelak, entahlah. Mungkin Susi sendiri tak bisa menjawab.

Sekali lagi aku hanya diam dan menyaksikan semuanya dari balik kaca cendela jendela. Duh Gusti ampunilah hamba-Mu yang lemah ini.

(c) dPs~
Kemayoran - Jakarta, 25 Mei 2007 - 20:00

Monday, April 09, 2007

@ 037 : Mal dan Plaza

Mal adalah jenis dari pusat perbelanjaan yang secara arsitektur bangunan sifatnya melebar (luas). Sebuah mal memiliki standar paling tinggi sebanyak tiga lantai. Jika ditinjau dari lokasi, mal sebenarnya diperuntukkan berada di dekat lokasi perumahan. Karena itulah bangunan mal melebar, karena dalam pada umumnya lokasi yang dekat perumahan ini, harga tanah relatif lebih murah daripada pembangunan sebuah plaza, yang berada di lokasi pusat kota.

Sedangkan plaza atau Town Square adalah pusat perbelanjaan yang secara arsitektur bangunan dirancang tinggi, memiliki lebih dari tiga lantai. Sebuah plaza umumnya dibangun dengan pilihan lokasi pusat kota, karena itulah bangunannya mengutamakan banyak lantai (tinggi), dengan tujuan untuk menghemat tempat.

Itulah definisi yang saya kutip dari wikipedia, jika berpegang pada definisi diatas apakah mal atau plaza di negeri ini sudah sesuai, sepertinya tidak. Mal atau plaza, bangunan itu? tidak mudah untuk membedakannya. Batas antara keduanya remang atau memang sudah cair. Sebuah gedung tanpa nama sulit dibedakan lagi jenisnya, ini mal atau plaza. Bagaimana dengan anda, mungkin bisa membedakan. Kenapa hal ini bisa terjadi? saya pikir karena ketiadaan semangat untuk memegang pakem.

Darimana asalnya kata itu (mal atau plaza) hingga masuk ke negeri ini saya tak tahu. Mungkin dari luar sana, negeri antah berantah yang konon katanya maju. Lalu diserap bulat begitu saja tak peduli apakah orang mengerti atau tidak. Hal seperti ini sudah lumrah, busway dan real estate barangkali adalah segelintir contoh lain saja.

Sekarang, apakah Atrium Senen itu mal atau plaza, tergantung pemiliknya bukan. Jika pemiliknya memberi nama plaza Atrium ya berarti plaza. Lalu bagaimana dengan EX dan Sarinah, disebut mal atau plaza, entahlah. Kalau begitu adanya berarti ini sebuah ketidakkonsistenan dong. Tepat dan hal itu dibiasakan.

Coba, mana yang tepat Ratu Plaza atau Plaza Ratu, Plaza Senayan atau Senayan Plaza, Plaza Semanggi atau Semanggi Plaza, Blok M Mal atau Mal Blok M, Mal Taman Anggrek atau Taman Anggrek Mal, Mal Pondok Indah atau Pondok Indah Mal. Ah itukan masalah bahasa saja. Anda benar, jika dari bahasa saja sudah terlihat kerancuan apalagi dari esensi gedung itu sendiri.

Tapi sudahlah, yang jelas saya percaya keduanya sama-sama tempat keramaian, tempat orang membunuh waktu dan menghamburkan uang yang telah dicari dengan susah. Disinilah budaya konsumerisme dibina, dipupuk dan ditumbuhkembangkan.

Berapa banyak mal atau plaza yang telah dan sedang dibangun di negeri ini, saya juga tak tahu. Yang saya tahu pasar tradisional semakin terpinggirkan dan kota ini sering banjir. Pergeseran hidup gaya terjadi, kebiasaan ke pasar tradisionalpun ditinggalkan beralihlah masyarakat ke mal atau plaza. Minum segelas kopi yang harganya lebih mahal dari lima liter bensin sudah merupakan suatu kewajaran. Semakin anda sering belanja di mal atau plaza hal itu berati semakin enak dan sukses hidup anda, benarkah pemikiran seperti itu? tak perlu dijawab.

Di kota ini sudah berapa mal atau plaza pernah saya kunjungi, tak bisa lagi dihitung. Mulai dari pinggir sampai tengah kota rasanya sudah, yang terkenal saja tentunya. Mal atau plaza yang baru dibangun sering menggoda gairah untuk menjamahnya. Rasa ingin tahu adalah naluri alam yang dimiliki setiap insan.

Mal atau plaza adalah tempat berkumpul berbagai macam orang, ada yang asli dalam dan luar negeri. Usia dan gaya merekapun beragam, mulai dari bayi hingga mbah, gembel hingga konglomerat, yang pamer belahan dada hingga yang pakai jilbab, bak virus flu siapapun bisa terinfeksinya. Yang bikin decak yang setengah-setengah, yaitu asli pribumi tapi tampilan bule, sosok identitas yang jelas dalam ketidakjelasan. Tidak hanya tempat berbelanja mal atau plaza juga tempat bersosialisasi, penegasan identitas dan pertemuan segala budaya.

Perlu menjadi catatan tersendiri adalah keberadaan musholla. Tempat ibadah yang satu ini sangat dibutuhkan bagi kaum agamis. Pihak pengelola ada yang membangunnya dengan baik dan layak, seperti memberi tempat yang luas, berpendingin AC, menjaga kebersihannya. Hal ini saya temukan di plaza Senayan, Artha Gading dan Pondok Indah Mal II. Namun, ada juga yang membangunnya asal ada, lokasinya di area parkir, tempatnya sempit, kotor dan tak terawat. Pendek kata, amat sangat pincang sekali dengan kemegahan toko-tokonya. Hal ini bisa ditemukan di mal Taman Anggrek, plaza Semanggi dan Atrium.

Di tengah zaman edan dewasa ini, apakah masih penting untuk membicarakan sarana ibadah, entahlah. Di saat orang sudah mabuk terhadap materi masihkah perlu menuntut sarana ibadah, entahlah.

Kegeraman tak terbendung jika sebuah mal dan plaza yang dibangun sangat megah abai terhadap fasilitas yang satu ini. Kepada siapa harus saya lampiaskan amarah ini? saya tak tahu. Apakah ibadah sudah menjadi hal yang aneh, apakah kesejukan jiwa setelah dekat kepada-Nya bukan sesuatu yang penting lagi. Jika memang begitu adanya, benar-benar sebuah kengerian yang nyata.

(c) dPs~
Kemayoran - Jakarta, 08 April 2007 - 01:30

Thursday, April 05, 2007

@ 036 : Ketika hanya Ada Aku

Surya tenggelam sudah tadi, gelak tawa dan riuh canda orang sudah tadi, kini dalam hening hanya ada aku. Hanya jam dinding yang berdetak tapi kali ini detaknya pun tak kudengar. Tak ada bunyi tak ada cahaya, sunyi yang akut menghampiri.

Tiba-tiba bulu kuduku merinding, tubuh ini menggigil dan gemetar, sekarang tak ada lagi batas antara. “Wahai kamu, sudah cukup nikmat-Ku, bagaimana jika sekarang Aku panggil menghadap” datang suara menyeru.

Tak lama kemudian, air mata ini menetes, badan dingin dan keringatku mengucur. Jiwaku bergetar tak kuasa lagi untuk membendungnya, aku takut dan sangat takut sekali. Aku berteriak kencang meminta tolong tetapi tak seorangpun yang mendengar. Kemanakah orang-orang yang aku cintai, teman-teman dan tetangga yang bercanda denganku tadi siang, kemanakah semuanya?.

“Jangan sekarang, aku belum siap, bagaimana dengan orang-orang yang aku cintai”. Beribu jawaban penuh alasan mencoba menjawab suara itu berbarengan dengan air mata yang kian deras, deras dan deras.

“Kalau begitu, kenapa kakimu gemar melangkah ke lembah nista, matamu suka melihat yang hina, acuh setiap mendengar seruan-Ku, senang tinggalkan perintah dan bahkan berkawan dengan larangan-Ku, apakah kakimu lumpuh, matamu buta, telingamu tuli, dan hatimu beku” seru suara.

Aku diam.

Kapan dan dimanapun saat teringat itu, hatiku kembali menggigil berbarengan dengan tetes air mata. Pun saat jariku menekan keyboard waktu mengetik catatan ini, aku tak kuasa. Akankah sia-sia bila akhir waktu datang menjemputku? Duh Gusti Allah, hamba-Mu ini lemah dan hina, izinkanlah hamba menghadap-Mu dengan semua kebersihan jiwa dan ragaku. Bila waktu itu datang, akhirilah dengan jalan-Mu yang terbaik, Amin.

Dua lagu dari mas Opick…

1. Bila Waktu Telah Berakhir

Bagaimana kau merasa bangga
Akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua
Hilang dan pergi meninggalkan dirimu

Bagaimanakah bila saatnya
Waktu terhenti tak kau sadari
Masihkah ada jalan bagimu
Untuk kembali mengulang ke masa lalu

Dunia....
Dipenuhi dengan hiasan
Semua..
Dan segala yang ada akan kembali pada-Nya

Bila waktu telah memanggil
Teman sejati hanyalah amal
Bila waktu telah terhenti
Teman sejati tinggalah sepi...

2. Irhamna

Tinggi menggunung dosa-dosa kami
Bertambah tinggi semakin hari
Berjuta kesalahan berlapis kesombongan
Selalu saja datang menghampiri

Langkah yang rapuh jiwa yang lemah
Segala salah adalah milik kita

Segala puji hanya bagi-Mu
Lautan ampunan kasih sayang-Mu
Engkau yang pemurah Engkau yang pemaaf
Hanya pada-Mu hati ini berharap

Irhamna ya Allah ya Rahman ya Rahim 4x

Kasihanilah kami
Ampunilah kami
Selamatkanlah kami
Ampun aaaa
Ampun aaaa

Langkah yang rapuh jiwa yang lemah
Segala salah adalah milik kita

Irhamna ya Allah ya Rahman ya Rahim 4x

(Irhamna ya Allah ya Rahman ya Rahim)
Ya Allah ya Rahman ya Allah ya Rahim
Ya Allah...
(diulang 2x)

(c) dPs~
Kemayoran - Jakarta, 04 April 2007 - 02:30

Thursday, March 08, 2007

@ 035 : Tiga Pelayan Pelanggan

Beberapa hari yang lalu aku ke BCA jalan Sabang mau mengurus duit, pakai sandal jepit, celana panjang katun, kaos oblong dan jaket parasit (seperti yg dipakai tukang ojek). Iseng-iseng aku bertanya produk M-BCA (sebenarnya sudah daftar) dan dilayani oleh wanita setengah tua yang goresan kecantikannya masih ada. "Mbak kalau saya mau pakai produk M-BCA gimana sih?" tanyaku membuka obrolan. "Mas daftar dulu dari ATM lalu ke operator telekomunikasi untuk ganti kartu M-Banking" jawabnya coba menjelaskan. Pelayanan mbak Desy sebut saja demikian ini cukup ramah dan informatif, itu yang aku rasakan.

Untuk bisa transfer M-BCA harus daftar via Bank, disini ada masalah dengan tabunganku. Nama yang tertulis di buku Dwi Prasetyo Sasongko (lengkap seperti ibuku memberi nama dulu) sedang di KTP hanya Dwi Prasetyo S (kalau ini pak RT yg memberi nama). Aku sudah tahu kalau ini akan jadi masalah sebab aku pernah melihat hal ini beberapa tahun yang lalu pada pelanggan lain, entah itu soal nama atau tanda tangan. BCA terlihat saklek disini tapi mungkin itu sudah prosedur yang harus dijalankan. Karena aku belum merasa butuh banget maka ya sudahlah gak bisa transfer dulu no problem (jare Thukul). Dari sini pelajarannya adalah, berhati-hati lah dengan nama, tentu kita pernah medengar bukan berapa banyak nama yang salah tulis di ijazah, paspor, ktp, sim dan surat-surat penting lainnya. Kesimpulannya : berilah nama yang mudah ditulis dan jangan panjang-panjang.

Dengan pakain yang sama, setelah dari BCA aku ke BNI Kebon Sirih, urusannya masih sama yaitu masalah duit. Begitu masuk satpamnya senyum tapi kurang manis sedikit, aku belagak bingung. Si satpam nyamperin, "bisa dibantu Mas?" tanyanya. "Mau nabung pak" jawabku ramah. "Ini form nya, silahkan diisi, sebelah sini mas" balas pak Satpam, sambil nunjukin arah dan formulir tabungan.

Selesai transaksi, aku ke pelayan pelanggan sebut saja namanya Susi, sepertinya sudah ibu-ibu tapi kecantikannya waktu gadis dulu juga masih tersisa. "Bisa dibantu mas ?" Susi membuka obrolan agak sinis. "Beberapa waktu yang lalu saya ke ATM, terus ada peringatan kalau kartu plus saya harus diganti, itu bener ya mbak?". "Iya mas betul, itu sudah satu tahun kok belum diganti, kalau dulu gantinya gratis sekarang bayar " jelasnya. "Oooo, ya sudah gak papa mbak" jawabku. "Ini formulirnya silahkan diisi.." mbak susi menyodorkan kertas isian. Dalam formulir pada isian berikut aku isi, pekerjaan : XXX, gaji : X juta.

Formulir kemudian dibaca sama mbak Susi. Dan apa reaksinya saudara-saudara, heheheh :). Mbak Susi yang tadi agak sinis kontan jadi sopan, ramah dan baik, malah saya ditawari kartu kredit, kpr, dan asuransi pendidikan. Sejauh itu juga pelayanan mbak Susi sangat memuaskan.

Dengan pakaian yang sama, dari BNI saya ke Grapari gedung Alia sekitar patung tani. Begitu masuk, disambut ketus oleh penjaga nomer sebut saja Safari sebab dia pakai safari mirip paspampres (atasan dan bawahan biru dongker). "Mau ngapain mas ?" nadanya gak ramah penuh selidik dan curiga. Kampret, dalam hatiku, untung aku gak langsung emosi. Orang kayak begini yang membuat negeriku gak maju-maju, batinku. "Anu mas saya mau ngurus M-Banking, kalau mesti bolak-balik urusan duit ke Bank, saya malas". "Emang kartunya belum bisa ya mas?" tanya si Safari coba menyelesaikan masalahku."Maaf mas, saya gak ada waktu, nomer antrian saya mana, saya ada perlu sama PP (Pelayan Pelanggan) bukan dengan anda" jawabku agak ketus. Sepertinya jengkel, si Safari memberiku nomer antrian dan orang-orang sekitar langsung menatapku. Untung aku gak bilang, kamu bodoh sih, makanya suruh jaga nomer (maaf kalau kasar).

"Ada yang bisa dibantu mas" tanya Susan sebut saja begitu, pelayan pelanggan Grapari. Usianya masih muda, gak tahu sudah berkeluarga atau belum, instingku belum bisa membedakannya."Saya mau tukar kartu M-Banking mbak" jawabku ramah. Di situ aku dan Susan ngobrol ngalor ngidul, mulai dari kerja sampai banjir. Saat itu terdengar samar-samar si Safari diomelin sama seorang wanita entah itu teman atau bosnya, "Hat-hati kamu sama orang, jangan dilihat dari penampilannya, biar pakai sandal jepit siapa tahu duitnya sekarung". Wah, dengar kata-kata seperti itu, batinku tersenyum senang. Untung masih ada orang yang sadar di lingkungan ini.

Satu hari berurusan dengan tiga PP (Pelayan Pelanggan)

(c) dPs~
Kemayoran - Jakarta, 22 Maret 2007 - 16:30

@ 034 : Thukul dan Empat Mata

Thukul adalah orang yang polos, lugu, tidak pinter, dari ndeso, dan berhasil dan sukses, dalam arti berlimpah materi. Konon untuk mengisi satu acara saja si Arwana ini berbandrol 30 juta. Dari sosoknya yang orisinil itulah acara yang dibawakannya di Trans 7 merakyat. Dari sini penonton merindukan tontonan yang membumi, polos, dan jujur.

Sosok Thukul yang pekerja keras, pernah jadi jongos, sopir dan berbagai profesi lain yang tipis duit kemudian sukses. Pendek kata untuk menempuh kesuksesan Thukul mau melewati jalan yang panjang dan terjal. Bukan dengan jalan pintas seperti membuat video porno, nikah sirih dengan konglomerat yang sudah beristri lalu saling tolak di media, dan berita sensasi lain yang memuakkan. Thukul adalah lambang kegigihan wong cilik yang sukses oleh karena itu dia dicintai.

Dulu, awal menonton acara tersebut aku tidak tertarik, presenternya tidak pinter, canggung, dan guyonannya kasar tidak mendidik mirip di pasar atau terminal. Tapi soponyono hal yang demikian malah disukai pemirsa. Acara empat mata Thukul tentu saja adalah antitesis dari acara talkshow sejenis yang ada. Dari sinilah teori out of the box terbukti benar.

Lama-kelamaan acara ini sudah mulai membosankan, ketika glontoran-glontoran uang mengalir deras lewat media iklannya, acara Thukul sudah berasa aneh. Misalnya saat obrolan lagi seru tiba-tiba muncul Pepi tokoh pendukung Thukul nawarin obat flu atau jasa telekomunikasi. Selain itu Thukul yang tadinya ndeso (sederhana, lugu, polos) mulai ditampilkan dan dicitrakan menjadi orang kota berduit, lihat gayanya waktu naik moge di bunderan HI. Pencitraan yang demikian adalah aneh.

Penonton kian cerdas. Aku setuju ketika dia (Thukul) tidak lagi bisa bermetamorfosa dan meninggalkan penontonnya (wong ndeso) maka kepopularitasannya tinggal menunggu waktu. Dari sini aku juga belajar bagaimana duit bisa membentuk seseorang. Ingat fenomena ratu ngebor dari Pasuruan yang pernah menggegerkan jagad dangdut.

(c) dPs ~
Palmerah- Jakarta, 2 Maret 2007 - 11:18

Wednesday, February 28, 2007

@ 033 : Ingin Kaya

Kaya, satu kata yang sering memenuhi isi kepalaku, kaya dengan definisi berlimpah materi tentu saja. Semenjak itu rasa resah dan gelisah terus membayang bahkan tak jarang menikam hati di kemalaman. Hidup seperti ini sungguh tidak enak dan perasaan ini adalah penyakit yang tentu saja harus aku lawan. Sebab waktu di desa aku merasa hidupku tenang dan damai. Dari sinilah aku mulai belajar dan mengerti bahwa uang <> bahagia.

Kalau mau kaya jangan sekolah, jangan jadi pegawai, biarkan uang bekerja untuk kita, percayalah dengan kekuatan daya pikir dan lain-lain adalah dogma yang terus ditancapkan tapi semoga aku sudah imun. Apakah ada yang aneh dengan hal ini ? menurutku ada, apakah itu ? kapan-kapan saja dibahas.

Menjadi kaya (banyak duit) adalah impian dan harapan bagi mereka yang miskin. Mempunyai rumah mewah, mobil keluaran terbaru dan gaya hidup wah mungkin adalah dambaan banyak orang. Mencari uang sebanyak-banyaknya lalu ditimbun biar disebut kaya.

Beberapa tahun yang lalu Bejo pernah mengobrol dengan seorang direktur perusahaan swasta, kalau dilihat dari segi materi si direktur ini tentu jauh dari kurang. "Menurut kamu apa yang membuat hidup ini bahagia?" si direktur mulai membuka obrolan. "Wah, kalau saya sih punya rumah bagus, mobil, dan enggak bingung kalau nanti anak sekolah Mas..." jawab Bejo jujur dan datar. "Salah!" si direktur memotong jawaban Bejo. "Lalu apa mas?" tanya Bejo dengan penuh rasa ingin tahu. "Bahagia itu menurut saya ada tiga, yaitu enak makan, enak tidur sama enak ehem-ehem sama istri".

Tidak salah memang menjadi kaya. Tapi ingat budaya asjadut (asal jadi duit) lah yang merontokkan sendi-sendi tatanan kita. Lihat, betapa gampangnya seorang anak gadis menjual keperawanannya, mengobral cintanya dan orang berilmu melacurkan ilmunya demi selembar rupiah. Bagaimana bisa artis yang tidak punya kontribusi terhadap kehidupan bisa bergaji XXXX kali lebih besar daripada pak dhe saya yang macul di kampung, bu lek saya yang ngajar di SD inpres.

Ide kapitalis ini kadang saya rasa semakin aneh dan ngawur. Memang, kapitalisme adalah masa dimana matinya sebuah ideologi. Tentu aku masih ingat ketika beberapa waktu yang lalu diadakan reuni ikatan alumni W di bumi perkemahan Cilandak. Terus salah satu calon ketua berkampanye, kalau saya kepilih maka nanti kalau kita adakan reuni lagi gak perlu bayar tapi malah kita mendapat bayaran. Terus lihat motor dan mobil yang banyak itu, itu kan bisa kita jadikan duit, misal dengan usaha spare part dll. Hmmm, ini sebenarnya acara silaturahmi apa dagang ? Dan pada saat itu juga aku sadar, bahwa yang ada di kepala calon ketua itu adalah duit duit dan duit.

Oleh karena itu juga aku tidak memilihnya karena di acara seperti ini aku tidak butuh duit. Aku percaya bahwa orang yang melihat masalah adalah duit tidak akan menyelesaikan masalah malah akan menambah masalah. Lihat sampah yang dilihat duit, lihat kemacetan yang dilihat duit, lihat banjir yang dilihat duit. Masih ingat bukan dengan iklan sebuah operator telekomunikasi di sebuah kuburan di desa kemarin. Aku juga percaya orang seperti ini kalau jadi pemimpin tentu akan membela yang bayar.

Kejadian serupa juga terjadi pada paguyuban P5 (bukan nama sebenarnya) saat acara kumpul-kumpul rutin. Beberapa orang (lebih dari satu) nyletuk daripada kita kumpul-kumpul doang begini bagaimana kalau diadakan bisnis saja, ya bisa bisnis A, B, C dan lain-lan lah. Kontan hal ini membuat aku senyum kecut.

Beberapa hari yang lalu malah aku dengar berita lucu, seorang kawan bercerita bahwa si K (cowok) yang berbadan kurus ingin gemuk. Sampai dia rela bela-belain beli susu XXX. Padahal harga susu itu kalau tidak salah 250 ribu per kaleng.

Selain itu aku juga pernah mendengar temanku (L) yang berkulit gelap beli cream pemutih, tujuannya tak lain adalah ingin menyulap kulitnya yang gelap menjadi terang. Harga cream pemutih itu tidaklah murah, ada yang 30 ribu sampai ratusan ribu per botol. Kalau sebulan saja habis satu botol, tentu bisa dibayangkan berapa besar duit yang harus dia habiskan. Contoh lain adalah si M (cewek) yang ingin berbadan langsing (bab ini kapan-kapan aja dibahas).

Kenapa hal-hal seperti itu bisa terjadi? tak lain adalah pemahaman tentang persepsi yang keliru, persepsi tentang realitas. Dalam persepsi si K orang yang gemuk itu adalah identik dengan orang yang sukses. Dalam persepsi si L orang yang berkulit putih itu adalah orang ganteng dan dalam persepsi si M orang yang langsing itu adalah orang cantik. Selama kita tidak berani mendekonstruksi persepsi-persepsi tersebut maka tidak perlu mengeluh kalau hidup ini dirasa semakin susah. Wong orang yang gemuk, yang putih, yang langsing yang lebih kita hargai daripada yang pinter, yang soleh, yang beriman, yang berbakti pada ortu dll.

Lihatlah juga ketika banjir melanda Jakarta kemarin, tergambar jelas bahwa uang tidak bisa berbuat banyak, pada kemanakah orang yang berduit saat itu. Uang memang bisa membuat kita senang tapi saya percaya bahwa uang bukanlah segalanya. Tidak salah ingin kaya dan juga tidak masalah kalau tidak kaya. Yang paling utama adalah menyiapkan mental, sehingga kalau jadi kaya tidak sombong dan kalau tidak kaya juga tidak putus asa.

INGAT di alam akhirat nanti kita akan ditanya, darimana kau dapatkan hartamu dan kau pergunakan untuk apa?

(c) dPs~
Palmerah - Jakarta, 02 Maret 2007 - 14:40

Friday, January 12, 2007

@ 032 : Konser Tewaskan 10 Orang

Berita ini mungkin sudah basi tapi tidak apa-apa, demi kesehatan saya harus menulisnya. Konser kelompok musik ungu di Stadion Widya Manggala Krida, Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, Selasa (19/12/2006) malam menewaskan 10 orang penontonnya. Peristiwa ini terjadi akibat berdesak-desakan dan saling injak antar penonton.

Korban tewas adalah sebagai berikut :
"Ratih Wulandari (17) warga Pemalang; Nurhikmah (15), warga Kedungwuni, Pekalongan; Adi Santoso (20), warga Kutorejo Kajen, Pekalongan; Supriyanto (15), warga Bojong, Pekalongan; Suwito Jati (15), warga Pemalang; Andi Satria (15), warga Salakbrojo, Pekalongan; pasangan suami-istri, Eko Yulianto (20) dan Nok Oviatun (17), warga Salakbrojo Kedungwuni; dan Anton Alatas (16), warga Batang." (Kompas, Rabu, 20 Desember 2006).

Dalam acara Kick Andy yang ditayangkan Metro TV Kamis (11/1) pukul 22:30, ibu Rizkiyah tak kuasa menahan tangis saat ungu melantunkan lagu Andai Ku Tahu. Spontan, beliau teringat Nurhikmah, anak perempuannya yang tewas. Air matanya mengalir deras membuat suasana menjadi bisu. Saat itu juga dadaku sesak menyaksikannya, perih. Ya Allah, kuatkanlah hati ibu Rizkiyah, bimbinglah dia, dia adalah orang desa yang jujur, polos dan tidak tahu apa-apa.

Ibu Rizkiyah menceritakan bahwa tadinya ia sempat melarang keinginan putrinya untuk nonton, tapi putrinya bilang kalau dia ingin bisa melihat idolanya langsung bukan hanya di TV saja. Putrinya juga tidak punya uang tapi ada temannya yaitu Ani yang mau meminjamkan uang Rp 20 ribu. Nurhikmah, Ani dan Casmari naik satu sepeda motor menempuh jarak 15 Km ke stadion.

Mendengar cerita ini, dadaku bertambah pilu. Tergambar figur seorang ibu yang ingin anaknya senang dan perjuangan seorang gadis desa dengan kehidupan yang sederhana rela meminjam uang, menempuh jarak yang tidak dekat hanya untuk melihat langsung idolanya. Ya Allah, ampunilah dosa almarhum dan terimalah amalanya. Peristiwa ini mengingatkanku pada masa lalu.

Waktu itu di desa jika ada konser dangdut sering ada yang ribut dan berujung maut, kerumunan dan joget ditambah bau alkohol yang menyengat menjadikan suasana bertambah gelap. Kejadian seperti ini juga aku temui saat sekolah di kota.

Ketika ada konser kali ini bukan dangdut (sebab orang kota "mengharamkan" dangdut) tapi musik cadas, kerusuhan yang berujung mautpun terjadi. Orang kota lebih beringas, masa yang terlibat lebih banyak, menggunakan sajam (senjata tajam) dan sapul (senjata tumpul) sehingga sudah seperti perang kolosal zaman Majapahit, sepertinya.

Berita terkini (13/1) adalah pentas seni SMA 44 di parkir barat gelora bung Karno berakhir anarkis, panggung dihancurkan dan puluhan mobil dirusak, duhh.

Bukan untuk menyalahkan siapapun. Kejadian-kejadian seperti diatas sangat menusuk nurani dan tak bisa dibiarkan. Bukan untuk melarang tapi kita (khususnya saya) tentu rindu suatu hiburan yang menyejukkan, bukan.

Wahai orang-orang desa, janganlah rasa haus hiburan kalian semakin menggelapkan keadaan yang sudah gelap. Sadarlah, bangunlah bangunlah bangunlah, ora ndelok artis ora pateken. Artis dan grup musik itu belum layak kalian jadikan panutan. Dan untuk orang kota, tentu kalian lebih pintar menyikapi masalah seperti ini.

(c) dPs ~
Palmerah - Jakarta, 15 Januari 2007 - 02:25