Wednesday, February 28, 2007

@ 033 : Ingin Kaya

Kaya, satu kata yang sering memenuhi isi kepalaku, kaya dengan definisi berlimpah materi tentu saja. Semenjak itu rasa resah dan gelisah terus membayang bahkan tak jarang menikam hati di kemalaman. Hidup seperti ini sungguh tidak enak dan perasaan ini adalah penyakit yang tentu saja harus aku lawan. Sebab waktu di desa aku merasa hidupku tenang dan damai. Dari sinilah aku mulai belajar dan mengerti bahwa uang <> bahagia.

Kalau mau kaya jangan sekolah, jangan jadi pegawai, biarkan uang bekerja untuk kita, percayalah dengan kekuatan daya pikir dan lain-lain adalah dogma yang terus ditancapkan tapi semoga aku sudah imun. Apakah ada yang aneh dengan hal ini ? menurutku ada, apakah itu ? kapan-kapan saja dibahas.

Menjadi kaya (banyak duit) adalah impian dan harapan bagi mereka yang miskin. Mempunyai rumah mewah, mobil keluaran terbaru dan gaya hidup wah mungkin adalah dambaan banyak orang. Mencari uang sebanyak-banyaknya lalu ditimbun biar disebut kaya.

Beberapa tahun yang lalu Bejo pernah mengobrol dengan seorang direktur perusahaan swasta, kalau dilihat dari segi materi si direktur ini tentu jauh dari kurang. "Menurut kamu apa yang membuat hidup ini bahagia?" si direktur mulai membuka obrolan. "Wah, kalau saya sih punya rumah bagus, mobil, dan enggak bingung kalau nanti anak sekolah Mas..." jawab Bejo jujur dan datar. "Salah!" si direktur memotong jawaban Bejo. "Lalu apa mas?" tanya Bejo dengan penuh rasa ingin tahu. "Bahagia itu menurut saya ada tiga, yaitu enak makan, enak tidur sama enak ehem-ehem sama istri".

Tidak salah memang menjadi kaya. Tapi ingat budaya asjadut (asal jadi duit) lah yang merontokkan sendi-sendi tatanan kita. Lihat, betapa gampangnya seorang anak gadis menjual keperawanannya, mengobral cintanya dan orang berilmu melacurkan ilmunya demi selembar rupiah. Bagaimana bisa artis yang tidak punya kontribusi terhadap kehidupan bisa bergaji XXXX kali lebih besar daripada pak dhe saya yang macul di kampung, bu lek saya yang ngajar di SD inpres.

Ide kapitalis ini kadang saya rasa semakin aneh dan ngawur. Memang, kapitalisme adalah masa dimana matinya sebuah ideologi. Tentu aku masih ingat ketika beberapa waktu yang lalu diadakan reuni ikatan alumni W di bumi perkemahan Cilandak. Terus salah satu calon ketua berkampanye, kalau saya kepilih maka nanti kalau kita adakan reuni lagi gak perlu bayar tapi malah kita mendapat bayaran. Terus lihat motor dan mobil yang banyak itu, itu kan bisa kita jadikan duit, misal dengan usaha spare part dll. Hmmm, ini sebenarnya acara silaturahmi apa dagang ? Dan pada saat itu juga aku sadar, bahwa yang ada di kepala calon ketua itu adalah duit duit dan duit.

Oleh karena itu juga aku tidak memilihnya karena di acara seperti ini aku tidak butuh duit. Aku percaya bahwa orang yang melihat masalah adalah duit tidak akan menyelesaikan masalah malah akan menambah masalah. Lihat sampah yang dilihat duit, lihat kemacetan yang dilihat duit, lihat banjir yang dilihat duit. Masih ingat bukan dengan iklan sebuah operator telekomunikasi di sebuah kuburan di desa kemarin. Aku juga percaya orang seperti ini kalau jadi pemimpin tentu akan membela yang bayar.

Kejadian serupa juga terjadi pada paguyuban P5 (bukan nama sebenarnya) saat acara kumpul-kumpul rutin. Beberapa orang (lebih dari satu) nyletuk daripada kita kumpul-kumpul doang begini bagaimana kalau diadakan bisnis saja, ya bisa bisnis A, B, C dan lain-lan lah. Kontan hal ini membuat aku senyum kecut.

Beberapa hari yang lalu malah aku dengar berita lucu, seorang kawan bercerita bahwa si K (cowok) yang berbadan kurus ingin gemuk. Sampai dia rela bela-belain beli susu XXX. Padahal harga susu itu kalau tidak salah 250 ribu per kaleng.

Selain itu aku juga pernah mendengar temanku (L) yang berkulit gelap beli cream pemutih, tujuannya tak lain adalah ingin menyulap kulitnya yang gelap menjadi terang. Harga cream pemutih itu tidaklah murah, ada yang 30 ribu sampai ratusan ribu per botol. Kalau sebulan saja habis satu botol, tentu bisa dibayangkan berapa besar duit yang harus dia habiskan. Contoh lain adalah si M (cewek) yang ingin berbadan langsing (bab ini kapan-kapan aja dibahas).

Kenapa hal-hal seperti itu bisa terjadi? tak lain adalah pemahaman tentang persepsi yang keliru, persepsi tentang realitas. Dalam persepsi si K orang yang gemuk itu adalah identik dengan orang yang sukses. Dalam persepsi si L orang yang berkulit putih itu adalah orang ganteng dan dalam persepsi si M orang yang langsing itu adalah orang cantik. Selama kita tidak berani mendekonstruksi persepsi-persepsi tersebut maka tidak perlu mengeluh kalau hidup ini dirasa semakin susah. Wong orang yang gemuk, yang putih, yang langsing yang lebih kita hargai daripada yang pinter, yang soleh, yang beriman, yang berbakti pada ortu dll.

Lihatlah juga ketika banjir melanda Jakarta kemarin, tergambar jelas bahwa uang tidak bisa berbuat banyak, pada kemanakah orang yang berduit saat itu. Uang memang bisa membuat kita senang tapi saya percaya bahwa uang bukanlah segalanya. Tidak salah ingin kaya dan juga tidak masalah kalau tidak kaya. Yang paling utama adalah menyiapkan mental, sehingga kalau jadi kaya tidak sombong dan kalau tidak kaya juga tidak putus asa.

INGAT di alam akhirat nanti kita akan ditanya, darimana kau dapatkan hartamu dan kau pergunakan untuk apa?

(c) dPs~
Palmerah - Jakarta, 02 Maret 2007 - 14:40