Thursday, March 08, 2007

@ 035 : Tiga Pelayan Pelanggan

Beberapa hari yang lalu aku ke BCA jalan Sabang mau mengurus duit, pakai sandal jepit, celana panjang katun, kaos oblong dan jaket parasit (seperti yg dipakai tukang ojek). Iseng-iseng aku bertanya produk M-BCA (sebenarnya sudah daftar) dan dilayani oleh wanita setengah tua yang goresan kecantikannya masih ada. "Mbak kalau saya mau pakai produk M-BCA gimana sih?" tanyaku membuka obrolan. "Mas daftar dulu dari ATM lalu ke operator telekomunikasi untuk ganti kartu M-Banking" jawabnya coba menjelaskan. Pelayanan mbak Desy sebut saja demikian ini cukup ramah dan informatif, itu yang aku rasakan.

Untuk bisa transfer M-BCA harus daftar via Bank, disini ada masalah dengan tabunganku. Nama yang tertulis di buku Dwi Prasetyo Sasongko (lengkap seperti ibuku memberi nama dulu) sedang di KTP hanya Dwi Prasetyo S (kalau ini pak RT yg memberi nama). Aku sudah tahu kalau ini akan jadi masalah sebab aku pernah melihat hal ini beberapa tahun yang lalu pada pelanggan lain, entah itu soal nama atau tanda tangan. BCA terlihat saklek disini tapi mungkin itu sudah prosedur yang harus dijalankan. Karena aku belum merasa butuh banget maka ya sudahlah gak bisa transfer dulu no problem (jare Thukul). Dari sini pelajarannya adalah, berhati-hati lah dengan nama, tentu kita pernah medengar bukan berapa banyak nama yang salah tulis di ijazah, paspor, ktp, sim dan surat-surat penting lainnya. Kesimpulannya : berilah nama yang mudah ditulis dan jangan panjang-panjang.

Dengan pakain yang sama, setelah dari BCA aku ke BNI Kebon Sirih, urusannya masih sama yaitu masalah duit. Begitu masuk satpamnya senyum tapi kurang manis sedikit, aku belagak bingung. Si satpam nyamperin, "bisa dibantu Mas?" tanyanya. "Mau nabung pak" jawabku ramah. "Ini form nya, silahkan diisi, sebelah sini mas" balas pak Satpam, sambil nunjukin arah dan formulir tabungan.

Selesai transaksi, aku ke pelayan pelanggan sebut saja namanya Susi, sepertinya sudah ibu-ibu tapi kecantikannya waktu gadis dulu juga masih tersisa. "Bisa dibantu mas ?" Susi membuka obrolan agak sinis. "Beberapa waktu yang lalu saya ke ATM, terus ada peringatan kalau kartu plus saya harus diganti, itu bener ya mbak?". "Iya mas betul, itu sudah satu tahun kok belum diganti, kalau dulu gantinya gratis sekarang bayar " jelasnya. "Oooo, ya sudah gak papa mbak" jawabku. "Ini formulirnya silahkan diisi.." mbak susi menyodorkan kertas isian. Dalam formulir pada isian berikut aku isi, pekerjaan : XXX, gaji : X juta.

Formulir kemudian dibaca sama mbak Susi. Dan apa reaksinya saudara-saudara, heheheh :). Mbak Susi yang tadi agak sinis kontan jadi sopan, ramah dan baik, malah saya ditawari kartu kredit, kpr, dan asuransi pendidikan. Sejauh itu juga pelayanan mbak Susi sangat memuaskan.

Dengan pakaian yang sama, dari BNI saya ke Grapari gedung Alia sekitar patung tani. Begitu masuk, disambut ketus oleh penjaga nomer sebut saja Safari sebab dia pakai safari mirip paspampres (atasan dan bawahan biru dongker). "Mau ngapain mas ?" nadanya gak ramah penuh selidik dan curiga. Kampret, dalam hatiku, untung aku gak langsung emosi. Orang kayak begini yang membuat negeriku gak maju-maju, batinku. "Anu mas saya mau ngurus M-Banking, kalau mesti bolak-balik urusan duit ke Bank, saya malas". "Emang kartunya belum bisa ya mas?" tanya si Safari coba menyelesaikan masalahku."Maaf mas, saya gak ada waktu, nomer antrian saya mana, saya ada perlu sama PP (Pelayan Pelanggan) bukan dengan anda" jawabku agak ketus. Sepertinya jengkel, si Safari memberiku nomer antrian dan orang-orang sekitar langsung menatapku. Untung aku gak bilang, kamu bodoh sih, makanya suruh jaga nomer (maaf kalau kasar).

"Ada yang bisa dibantu mas" tanya Susan sebut saja begitu, pelayan pelanggan Grapari. Usianya masih muda, gak tahu sudah berkeluarga atau belum, instingku belum bisa membedakannya."Saya mau tukar kartu M-Banking mbak" jawabku ramah. Di situ aku dan Susan ngobrol ngalor ngidul, mulai dari kerja sampai banjir. Saat itu terdengar samar-samar si Safari diomelin sama seorang wanita entah itu teman atau bosnya, "Hat-hati kamu sama orang, jangan dilihat dari penampilannya, biar pakai sandal jepit siapa tahu duitnya sekarung". Wah, dengar kata-kata seperti itu, batinku tersenyum senang. Untung masih ada orang yang sadar di lingkungan ini.

Satu hari berurusan dengan tiga PP (Pelayan Pelanggan)

(c) dPs~
Kemayoran - Jakarta, 22 Maret 2007 - 16:30

@ 034 : Thukul dan Empat Mata

Thukul adalah orang yang polos, lugu, tidak pinter, dari ndeso, dan berhasil dan sukses, dalam arti berlimpah materi. Konon untuk mengisi satu acara saja si Arwana ini berbandrol 30 juta. Dari sosoknya yang orisinil itulah acara yang dibawakannya di Trans 7 merakyat. Dari sini penonton merindukan tontonan yang membumi, polos, dan jujur.

Sosok Thukul yang pekerja keras, pernah jadi jongos, sopir dan berbagai profesi lain yang tipis duit kemudian sukses. Pendek kata untuk menempuh kesuksesan Thukul mau melewati jalan yang panjang dan terjal. Bukan dengan jalan pintas seperti membuat video porno, nikah sirih dengan konglomerat yang sudah beristri lalu saling tolak di media, dan berita sensasi lain yang memuakkan. Thukul adalah lambang kegigihan wong cilik yang sukses oleh karena itu dia dicintai.

Dulu, awal menonton acara tersebut aku tidak tertarik, presenternya tidak pinter, canggung, dan guyonannya kasar tidak mendidik mirip di pasar atau terminal. Tapi soponyono hal yang demikian malah disukai pemirsa. Acara empat mata Thukul tentu saja adalah antitesis dari acara talkshow sejenis yang ada. Dari sinilah teori out of the box terbukti benar.

Lama-kelamaan acara ini sudah mulai membosankan, ketika glontoran-glontoran uang mengalir deras lewat media iklannya, acara Thukul sudah berasa aneh. Misalnya saat obrolan lagi seru tiba-tiba muncul Pepi tokoh pendukung Thukul nawarin obat flu atau jasa telekomunikasi. Selain itu Thukul yang tadinya ndeso (sederhana, lugu, polos) mulai ditampilkan dan dicitrakan menjadi orang kota berduit, lihat gayanya waktu naik moge di bunderan HI. Pencitraan yang demikian adalah aneh.

Penonton kian cerdas. Aku setuju ketika dia (Thukul) tidak lagi bisa bermetamorfosa dan meninggalkan penontonnya (wong ndeso) maka kepopularitasannya tinggal menunggu waktu. Dari sini aku juga belajar bagaimana duit bisa membentuk seseorang. Ingat fenomena ratu ngebor dari Pasuruan yang pernah menggegerkan jagad dangdut.

(c) dPs ~
Palmerah- Jakarta, 2 Maret 2007 - 11:18