Sunday, June 10, 2007

@ 041 : Perempuan, Uang dan Cinta

Kalau ada ciptaan Tuhan yang paling menarik perhatian sepanjang masa, maka itu adalah perempuan. Tidak ada habisnya perempuan diperbincangkan : kecantikannya, perilakunya, perannya, seakan belum ada pengertian yang menyeluruh tentang perempuan.(Rena Herdiyani)

Membahas perempuan memang tak lekang oleh zaman, layaknya cinta dan seks. Tak pernah ada kata cukup dan bosan. Pesonanya yang luar biasa bak bunga yang menghipnotis lebah.

Sebelum membuat lukisan yang indah seorang pelukis membuat sketsanya terlebih dulu. Apakah lelaki merupakan sketsa dari perempuan. Barangkali, perempuan memang salah satu karya surga yang diciptakan Tuhan di bumi.

Modifikasi Tubuh
Di era materialisme, setiap hari kita dicekoki oleh pencitraan bahwa perempuan yang ideal itu adalah yang bertubuh langsing dan berkulit putih. Tidak hanya itu, wilayah pinggul dan dada juga tak lepas dari perhatian. Hal tersebut mudah kita temukan pada media cetak (koran, tabloid, majalah), media elektronik (TV, radio, internet) dan media massa yang lain.

Karena kita sudah mabuk berat, kitapun mengangguk sepakat dan menganggap itu semua adalah suatu kewajaran. Bahkan kebenaran, yang mau tidak mau harus diterima.

Tubuh dan seksualitas perempuan dieksploitasi dan dijadikan komoditas yang tak kalah hebat dengan migas. Daya tarik fisik ditonjolkan dan diproduksi secara besar-besaran lewat industrialisasi. Cara berpakaian, memotong rambut, merias wajah, bahkan sampai urusan ranjangpun semuanya harus patuh kepada pemilik modal.

Di sini ekonomisasi berlangsung. Tubuh perempuan dijadikan komoditas guna memenuhi permintaan pasar, yaitu fantasi liar lelaki. Anehnya, perempuanpun seiya sekata. Ikut larut orgasme menikmatinya, tidak semua memang.

Pencitraan yang demikian sudah melekat kuat dalam benak masyarakat. Pesona tubuh diletakkan dalam nilai tertinggi. Cream pemutih, obat (makanan, minuman) pelangsing, sampo pelurus rambut, suntik silikon, botox , operasi plastik, kaos udel, celana pinggul (hipster) sudah akrab dikonsumsi perempuan kita hingga laris manis seperti ketupat lebaran.

Ekonomi berbiaya tinggi bukanlah soal. Uang “gampang” dicari. Perempuan ikhlas mengeluarkannya berapapun jumlahnya. Tak peduli uang tersebut dicari dengan tetesan darah, air mata, keringat hingga “tetesan” yang lainnya.

Punya uang berati bisa “cantik” tidak punya uang simpan dulu rasa ingin itu. Jika sudah begini, buang jauh-jauh namanya moralitas seperti keimanan, kesopanan, kesalehan, kepandaian dan ke-an yang lainnya. Hal tersebut tidak laku disini.

Menggapai Cinta
Dalam budaya seperti ini, urusan cinta juga harus menyesuaikan pada aturan. Perempuan rela memodifikasi tubuhnya semaksimal mungkin. Semakin dekat dia dengan apa yang dicitrakan maka semakin besar peluangnya untuk mendapatkan cinta.

Tidak cukup sampai disitu. Barang yang “baik” juga harus dipasarkan, bukan. Meski sudah menjadi kualitas unggul tahan malu nilai jual tetap harus ditingkatkan. Asasnya, semakin banyak permintaan berarti semakin tinggi nilai jualnya. Perempuan paham akan hal ini. Mulailah dia menawarkan tubuhnya secara terbuka.

Wejangan ibunda tercinta waktu di desa : “Nduk, dadi cah wedok kuwi ojo seneng towo-towo karo bocah lanang” hilang begitu saja. Padahal entah berapa lembar rupiah yang telah dikeluarkan ibunya untuk menyekolahkan, belum lagi kucuran air matanya. Tapi, setelah menjadi “orang” rupanya kata-kata tersebut terlalu susah untuk dipahaminya.

Dalam dunia seperti ini, sebagai calon pembeli lelaki mengerti betul hukum tersebut. Semakin dia punya uang berarti semakin bisa dia mendapatkan perempuan yang selaras dengan fantasi liarnya. Tubuh dan uang membentuk cinta. Tubuh yang aduhai ditukar dengan lembaran-lembaran rupiah diatas nama cinta.

Dengan demikian, tidak perlu lagi perasaan dan emosi. Bahkan juga tak butuh simpati dan empati yang terlibat. Sama seperti pelacuran, cuma yang ini legal.

Karena uang dan cinta sudah berkawan akrab maka mahzabnya adalah ada uang mas aku cinta, tak ada uang mas ngiler aja.

“Untukmu yang wanginya tak pernah habis kuciumi setiap hari”

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 10 Juni 2007 02:00

Wednesday, June 06, 2007

@ 040 : SBY dan Hak Interpelasi DPR

Presiden SBY memutuskan tidak hadir dalam sidang interpelasi masalah nuklir Iran yang digagas oleh DPR. Pemerintah mengirimkan tujuh menterinya. Sidang berlangsung panas dan diwarnai interupsi. Untuk menghindari kericuhan, lampu ruang sidang sempat dimatikan oleh sekjen.

DPR tidak bisa menerima ketidakhadiran presiden. Dianggap presiden telah melecehkan wakil rakyat. Sidang paripurna akhirnya ditunda dan diserahkan kembali ke Bamus (Badan Musyawarah) untuk dijadwal ulang.

Pada hari yang sama, presiden menggelar konferensi pers di kantornya. Dalam pernyataannya beliau mengatakan sungguh-sunguh ingin menjawab pertanyaan DPR dengan baik dan tepat. DPR diminta untuk membenahi masalah internal yang terjadi.

Masalah internal itu terindikasikan lewat penundaan sidang akibat adanya perbedaan interpretasi dalam memahami tata tertib. Ali Mochtar Ngabalin dalam kupas tuntas mengatakan tidak ada masalah internal dalam tubuh DPR.

Apa susahnya SBY hadir? Menurut Andi Malarangeng ada tiga landasan. Pertama, tradisi politik sebelumnya membenarkan hal ini. Kedua, tata tertib membolehkan. Dan yang terakhir, dalam sistem pemerintahan presidensiil presiden hadir ke DPR hanya satu kali dalam setahun. Yaitu setiap tanggal 16 Agustus ketika presiden menyampaikan anggaran.

Sampai saat ini, Presiden SBY tercatat sudah empat kali menghadapi sidang interpelasi. Keempat sidang tersebut yaitu : kebijakan pergantian panglima ABRI, impor beras, terjadinya busung lapar dan dukungan terhadap resolusi DK PBB terkait isu nuklir Iran. Semuanya tidak ada yang dihadiri secara langsung oleh presiden.

Drama berlakon eker-ekeran telah dipertontonkan oleh para elite di negeri ini. Hal seperti itu bukanlah teladan baik bagi rakyat Indonesia yang pada dasarnya cinta damai bukan cinta keributan.

Apakah sebenarnya yang diperebutkan dari semua ini. Tidak mudah untuk menjawabnya. Politik adalah sesuatu yang susah ditebak seperti sepakbola. Di dalam politik mengenal suatu teori tidak ada kawan ataupun lawan yang ada hanyalah kepentingan.

Lantas kepentingan apa itu? Upaya delegitimasi presiden sebelum waktunya. Kucuran uang yang mengalir saat sidang. Langkah mengamankan posisi bagi politisi untuk periode mendatang. Ketidakpuasan akibat pergantian kabinet beberapa waktu lalu. Atau perjuangan aspirasi dalam rangka membangun komunikasi politik.

Jika konflik politik tingkat tinggi seperti diatas terus dibiasakan dan dipelihara tentu stabilitas nasional akan sering terganggu. Kalau sudah begini, bagaimana pemerintah bisa melaksanakan pembangunan. Jika pembangunan tersendat, bagaimana nasib rakyat kecil? tetap terlindas, tragis dan mengenaskan, bukan.

Kawula alit / rakyat kecil tidak mengerti apa-apa. Yang mereka butuhkan adalah kesejahteraan lewat terjaminnya kebutuhan pokok. Cukup sandang, cukup papan, cukup pangan, cukup pendidikan dan kesehatan. Untuk mewujudkan hal tersebut tentu diperlukan suasana yang kondusif.

Kenapa kita bangsa yang pada dasarnya adalah bangsa yang ramah, sopan santun dan selalu bergotong-royong, bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan tiba-tiba menjadi bangsa yang suka ribut.

Rakyat (khususnya saya) sangat merindukan pemimpin / pemegang amanah yang jujur kepada dirinya dan rakyat kecil. Kejujuran yang mulai langka tergerus kemunafikan. Kejujuran yang harus kita lestarikan mulai dari diri sendiri, hal terkecil dan sekarang juga. Ingat, kelak setiap diri akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir.

(k) dPs~
Kemayoran - Jakarta, 06 Juni 2007 - 04:00

Monday, June 04, 2007

@ 039 : Memberi Nama Anak

Nama adalah doa. Kepercayaan itu telah mengakar kuat di benak masyarakat sejak dahulu hingga kini, seolah kekal tak lekang terlindas zaman. Jika tidak percaya tanyakan kepada mbah buyut, eyang, pak dhe, bu lek, teman atau tetangga asal jangan pada rumput yang bergoyang saja.

Seorang anak berhak memperoleh nama yang baik. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “seseorang datang kepada Nabi(SAW) dan bertanya,”Ya Rasululloh, apa hak anakku ini?” Nabi SAW menjawab,”Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu)”.” ( HR Aththusi ).

Berdasar hadis tersebut tidak diharuskan memberi nama anak dengan bahasa Arab. Artinya orang bebas memakai bahasa apapun (syaratnya harus baik) saat memberikan nama kepada anak. Bisa bahasa Jawa, Madura, Sunda, Batak dan lain sebagainya. Dari sinilah proses sesat pikir sering terjadi. Akibatnya muncul pemahaman dan kepercayaan bahwa nama anak dengan bahasa Arab itu lebih baik daripada bahasa yang lainnya.

Di Arab orang mengumpat, dugem, menggoda cewek, marah-marah, atau berdoa di gereja menggunakan bahasa Arab. Orang acap kali salah mengerti. Bahasa Arab disakralkan karena anggapan kitab suci ditulis dengan bahasa tersebut. Padahal bahasa Arab adalah hanya bahasa biasa, layaknya bahasa-bahasa lainnya. Islam tidak hanya identik dengan bahasa Arab.

Zaman sekarang, mengapa orang tua lebih senang memberi nama kepada anak jika tidak kearab-araban ya kebarat-baratan. Fenomena apakah ini, mari kita telusuri bersama.

Relegius atau Ingin Dianggap Relegius?
Adanya anggapan bahwa nama anak berbahasa Arab itu lebih relegius. Orang tua memberi anaknya nama dengan bahasa Arab dengan motivasi ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungannya. Pengakuan tentang relegiusitas terhadap keluarganya.

Seolah-olah semakin aneh bin njlimet nama seorang anak berarti semakin agami kehidupan suatu keluarga tersebut. Pengakuan seperti ini yang diinginkan. Keagamaan diletakkan pada nilai tertinggi dalam sebuah keluarga meski hanya syariat atau simbolisasi saja. Hal seperti itu adalah borok yang harus disembuhkan.

Tidak semua demikian memang sebab ada juga orang yang benar-benar relegius yang memberi nama kepada anaknya menggunakan bahasa Arab.

Kenapa peristiwa seperti diatas bisa terjadi? Hal ini tak lepas dari terjadinya pembaharuan dalam memahami ajaran Islam. Pembaharuan tersebut mengajak setiap manusia agar kembali mengamalkan Islam secara total. Baik dari segi negara, hukum, ekonomi hingga ruang pribadi sekalipun. Termasuk urusan memberi nama kepada anak.

Islam yang dimaksud disini adalah Islam yang sama dan sebangun dengan Arab. Mereka beranggapan kebudayaan yang Islami itu adalah seperti di Arab.

Kaum pembaharu ini biasanya memanjangkan jenggot, dahinya hitam karena ngapal. Sementara yang perempuan berkerudung gombrong / lebar. Waktu ngobrol lazim terselip kata ikhwan, akhwat, antum dan ana (untuk kata ganti laki-laki, perempuan, kamu dan saya). Ikhwan dan akhwat tidak mau bersentuhan saat berjabat tangan sebab menurutnya hal tersebut tidak diperbolehkan. Pendeknya mereka menunjukkan identitas Islamnya secara tegas. Islam yang sama dan sebangun dengan Arab.

Modern atau Ngawur?
Pada golongan kedua terdapat orang tua yang memberi nama kepada anak ala kebarat-baratan. Sama seperti penjelasan diatas bedanya disini motivasi orang tua tersebut adalah modernitas. Nama Indonesia asli seperti Bejo, Cecep, Hutagalung dianggap kuno dan kadaluwarsa. Ibarat barang yang tak mempunyai nilai jual.

Pandangan seperti ini tak lepas dari globalisasi tentunya. Kemajuan dunia barat telah menciptakan kiblat baru. Seperti agama, kemajuan tersebut juga menembus ruang pribadi keluarga. Sampai urusan memberi nama kepada anak. Orang tua seperti ini biasanya adalah bule Indonesia.

Apakah memang betul nama Robert itu lebih modern daripada Bejo. Suatu kemajuan atau kengawurankah ini? Tak usah dijawab simpan saja dalam hati.

Hilangnya Budaya
Jika hal-hal seperti diatas terus terjadi maka hilanglah budaya asli kita yang konon adi luhung. Kelak kita akan menyaksikan Sharon Ashiyah Keizha dengan rambut disemir merah, memakai celana levis sedang makan pizza hut sambil minum kopi starbucks diiringi musik hip-hop di sebuah X mal.

Sementara itu dilain tempat terlihat pria berpenampilan gaya Arab. Namanya Fakhri Ghassan. Ia berkenalan dengan sohibnya disebuah acara kajian. Ucapnya : "Nama ana adalah Fakhri Ghassan bukan Pahri Hasan, ikhwan dan akhwat sering salah sebut lho, jadi harap antum faham ya".

Jika kedua orang tersebut adalah peranakan bule atau Arab tentu wajar-wajar saja. Tapi jika bapaknya asli Wlingi-Blitar dan Ibunya asli Solo tentu ini tidaklah lucu.

Selain doa nama juga merupakan identitas. Untuk dijadikan pembeda antara manusia satu dengan yang lainnya. Antara orang Indonesia, Arab atau Barat.

Makanan asli kita terpinggirkan, bahasa kita tersisih, pakaian kita tergusur dan gaya hidup kita terimitasi. Jika nama kita juga tergadaikan lantas bagaimana kita dikenal sebagai orang Indonesia.

Dalam hal pelestarian budaya, disadari atau tidak orang tua yang menamai anaknya dengan bahasa bangsa Indonesia yaitu bahasa Jawa, Madura, Sunda, Batak lebih berperan dibanding dengan orang tua yang menamai anaknya dengan bahasa Arab atau Barat.

Bagaimana dengan nama Sabklitinov yang berarti Sabtu Kliwon Tiga November...

(k) = karya

(k) dPs~
Palmerah - Jakarta, 05 Juni 2007 - 18:00