Thursday, July 26, 2007

@ 043 : Fauzi Namaku

Makanan khas Jawa Timur seperti rujak cingur dan tahu campur adalah makanan kesukaanku. Malam hari di jalan Garuda Kemayoran, ada satu warung yang menjual menu tersebut, lumayan enak. Karena cacing di perut sudah minta makan dan yang diminta adalah rujak cingur maka aku sempatkan mampir di warung langganan tersebut.

Belum lama duduk dan makananpun belum datang artis ibukota sudah menghibur dengan lagunya Peterpan Bintang di Surga.

Jreng..
Lelah tatapku mencari
Arti untukku membagi
Menemani langkahku
Namun tak berarti

Kuperhatikan tangan terampil itu memetik dawai dari kunci Em F G Bm.

Beberapa menit berlalu datang bocah kecil memakai kaos MU bertuliskan Beckam bercelana pendek dan sandal jepit.

Om makan dong Om” teriaknya lirih sambil mengatungkan tangan. Aku tatap bocah itu dan bilang “tadi temennya dah minta tu”. Om makan dong Om” teriaknya lagi. Aku diamkan saja (sebenarnya ngetes sampai sejauh mana dia bertahan). “Om makan dong Om” teriaknya lagi masih dengan tangan ngatung.

Naluri kebapakanku muncul, hal ini sering aku biarkan bahkan sampai terpupuk :)

Aku(A) : Namanya siapa?
Bocah(B) : Fauzi Om
A : Fauzi siapa?
B : Rahmat Fauzi jawabnya lugu
A : Fauzi sekolah?
B : Iya Om..
A : Kelas berapa?
B : Kelas Enam
A : Sekolahnya dimana?
B : Kemayoran Timur
A : Kenapa Fauzi kok minta duit?
B : Buat beli buku Om
A : Ahhh boong, buat jajan ya, ledekku sambil tersenyum
B : Enggak Om, kalau jajan minta sama Bapak
A : Emangnya dikasih sama Bapak
B : Dikasih Om
A : Dikasih berapa?
B : Seribu
A : Buku apa yang mau Fauzi beli?
B : Sejarah sama Bahasa Indonesia
A : Harganya berapa?
B : 36.500 Om
A : Fauzi Bapaknya kerja apa?
B : Tukang pijit Om
A : Kalau ibunya?
B : Ibu nggak ada Om, jawabnya polos
A : (Mak deg, jgn2 cerai) Lho kemana? (Waktu nanya ini gak tega, takut melukai hatinya, duh Gusti ampuni hambaMu ini)
B : Udah meninggal Om
A : (Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Rojiun) Fauzi, duitnya dikasih sama Bapak ya?
B : Enggak Om, Fauzi simpan sendiri di tas
A : Buat apa?
B : Buat beli buku, jawabnya datar dengan kepolosannya
A : Fauzi habis SD mau nerusin ke SMP
B : Enggak Om, katanya Bapak mau di pesantrenin
A : Pesantren mana?
B : Daerah Tasik
A : Fauzi sekolah yang pinter ya..
B : Iya Om (Lalu dia melangkah pergi menuju warung sebelah)

Fauzi, sedini itukah kamu harus bekerja keras. Andai saja Om punya banyak duit, andai saja Om punya sekolahan?

Salam andai

(k) dps~
Garuda - Jakarta, 26 Juli 2007 22:45

Wednesday, July 25, 2007

@ 042 : Di Sebuah Lampu Merah

Hari itu pagi sudah bercampur siang, mungkin jam menunjuk pukul 10. Di hari Senin seperti ini seperti biasa geliat ibu kota semakin menggairahkan. Ribuan manusia beraktifitas demi sesuap nasi dan seteguk kesenangan. Ada yang terlihat semangat dan banyak juga yang bermalas-malas ria.

Kota yang terbesar di negeri ini seperti menyimpan gula berton-ton, menarik segala semut dan seakan tak pernah habis meski digerus terus setiap hari. Di hari Senin tepatnya di perempatan Senin ku lihat adegan yang menarik diantara geliat ribuan orang tersebut. Sebuah mobil mercedes benz tertahan oleh lampu merah, di dalamnya hanya satu orang yang merangkap sekaligus sopir. Seorang pria dengan kemeja putih dengan dasi warna gelap menghiasi tubuhnya. Melihat penampilannya yang penuh dengan barang kaum jetset aku percaya orang dibalik kemudi tersebut pastilah berduit banyak.

Sementara, hanya beberapa cm dari pria tersebut berdiri seorang ibu yang lusuh, tepatnya di depan kaca jendela mobilnya. Apa yang dilakukan ibu tersebut yaitu hanya mengulurkan tangannya, berharap belas kasih dan rasa iba dari si pengemudi mobil tentunya. Siapa tahu kecipratan rupiah yang bisa digunakan untuk mengisi perutnya demi menyambung hidup atau membiayai anaknya yang mungkin sangat berprestasi di sekolahan. Ibu seperti ini sering dicap sebagai sampah masyarakat, biang kejahatan dan makhluk yang menjijikkan yang seakan-akan seperti kecoak yang harus ditumpas habis.

Dari kejauhan aku perhatikan terus adegan apa yang berikutnya bakal terjadi. Apakah si pengemudi itu memberi uang atau mengacuhkannya. Lama ibu tersebut terpaku di depan kaca mobil merci itu. Pikiranku mulai liar dan hal ini sering aku biarkan. Lamunanku mulai mengarah ke internet, teringat tentang berita-berita himbauan agar jangan memberi duit kepada peminta-minta, anak jalanan, pengamen dll. Hal itu hanya akan membuat mereka males, tidak mendidik dan tetek bengek lainnya lah.

Lama mataku terus mengamati peristiwa demi peristiwa, di dalam mobil si sopir diam saja sementara si ibu juga masih bergeming di tempatnya. Lampu berubah hijau dan mobil itupun melesat tanpa mengeluarkan rupiahpun. Rupanya bagi pengemudi tersebut uang serupiah itu amat sangat berharga, sehingga tak boleh keluar cuma-cuma meski diiming-imingi pahala. Rupanya untuk mengeluarkan uang seribu rupiah buat peminta itu butuh pertimbangan yang ekstra, mungkin tidak seperti waktu beli kue J-CO atau kopi starbuck.

Melihat akhir dari adegan itu, dadaku sesak dan senyumku semakin kecut. Sudah susah rasanya timbul belas kasihan seandainya mobil merci itu tabrakan terlindas tronton ataupun busway.

Sementara tanpa kenal lelah di tengah panas yang menyengat, debu dan lautan karbondioksida jalanan, si ibu itu pindah tempat dan mulai beranjak dari mobil ke mobil lagi jika lampu merah menyala. Sambil tetap berharap kecipratan rupiah dan pasrah kepada Tuhan-Nya yang Maha Penyayang. Duh Gusti, apakah memang begitu berat mengeluarkan uang seribu itu...

(k) dps~
Palmerah - Jakarta, 23 Juli 2007 07:16