Monday, September 10, 2007

@ 047 : Bejo Mencari Tuhan

Bejo mengembara mencari Tuhan. Katanya Tuhan ada di tempat ibadah. Bejo segera bergegas. Sampai di tempat ibadah matanya menyalak, memperhatikan dengan serius tapi dia tidak menemukan Tuhan. Yang dilihat hanya sekumpulan orang yang sedang berdoa.

Bejo keluar, melanjutkan perjalanannya. Perjalanan yang dia sendiri tak tahu sampai kapan akan berakhir.

Waktu telah berganti hari. Sudah dua kali matahari muncul dari ufuk Timur. Di jalan, udara mendidih. Panasnya bisa membakar kulit. Di tengah terik seperti itu Bejo beristirahat di bawah pohon mangga. Raut mukanya kusut, kelelahan terbakar letih.

“Kisanak bangun kisanak, silahkan istirahat di dalam” terdengar suara membuyarkan mimpinya.

Bejo terbangun dengan kaget. Spontan dia pasang kuda-kuda. Matanya mencari sumber suara. Jangan-jangan rampok, desahnya dalam hati.

“Tenang kisanak, tidak ada bahaya. Maaf kalau mengagetkan. Perkenalkan, nama saya Sarinem”.

Mendengar suara kedua, sikap Bejo berubah drastis. Dari siaga sempurna kembali ke wajah malasnya. “Ooo, tidak papa. Saya juga minta maaf sudah tertidur di pekarangan nyisanak tanpa izin. Nama saya Bejo” balasnya.

Itulah awal pertemuan Bejo dengan Sarinem. Gadis desa yang berwajah pas-pasan, pas ayunya.

“Dari tadi saya perhatikan dari dalam rumah, sepertinya kisanak kelelahan. Saya tidak tega. Udara di luar sangat menyengat, tidak baik buat kesehatan. Mari masuk, istirahat di dalam”.

Suara Sarinem sangat dingin, menetes membasahi kerongkongan Bejo yang kerontang. Entah kenapa Bejo mengikuti begitu saja langkah Sarinem menuju rumah. Suara Sarinem sepertinya mengandung tenaga dalam dan telah membius Bejo.

Sampai di dalam rumah, Bejo heran. Kok masih ada orang baik seperti Sarinem. Dari tingkah polah dan penampilan sepertinya dia bukan orang sembarangan, kanuragannya pastilah tinggi. Bejo membatin.

“Mohon maaf, kalau boleh saya tahu. Nama desa ini apa ya?” tanya Bejo penasaran.

“Desa Makmuroto. Penduduk di desa ini pekerja keras semua. Namun, di musim panas seperti ini mereka biasanya bermalasan di rumah. Kalau juga boleh saya tahu, kisanak hendak pergi kemana?”

“Entahlah, saya tidak tahu. Saya hanya ingin mencari Tuhan. Apakah nyisanak tahu, dimana Tuhan berada?”

“Istirahatlah dulu barang sebentar. Saat letih sudah hilang silahkan kisanak melanjutkan perjalanan. Kamar itu sudah lama tidak ada yang meniduri, namun masih sering saya bersihkan. Saya akan buatkan kopi kalau ada perlu apa-apa tiup saja seruling ini” ucap Sarinem tidak menjawab pertanyaan Bejo sekatapun.

Seperti tadi, suara Sarinem kali ini masih sama dinginnya. Bejopun seperti terhipnotis, mengikuti apa yang dikatakan Sarinem, menuju pembaringan dan merebahkan tubuhnya yang sudah lama payah.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara dari balik cahaya.

“Wahai jiwa yang sedang gelisah, untuk apa kamu mencari Tuhan”.

“Saya ingin bertanya kepada-Nya, kenapa di bumi ini manusia membuat kerusakan, bahkan saling bunuh atas nama Tuhan” jawab Bejo.

"Ouw, ketahuilah wahai jiwa yang gelisah. Sejatinya Tuhan ada di dalam hati setiap manusia. Hati adalah misteri terbesar bagi manusia itu sendiri. Jika kamu bisa memecahkan misteri itu mungkin kamu akan menemukan Tuhan. Sayang, hati suka terselimuti kabut tebal. Sehingga manusia tidak bisa lagi membedakan antara yang haq dan bathil. Itulah kenapa angkara murka merajalela. Oleh karena itu, hanya mereka yang berhati bersihlah yang bisa merasakan-Nya. Tuhan tidak bisa dilihat dengan kasat mata, sebab Tuhan hanya bisa dijumpai setelah semua urusan di bumi ini tamat”

Bejo terperanjat. Bersamaan dengan itu, hilang pula suara dari balik cahaya. Juga musim panas, pohon mangga, desa Makmuroto, Sarinem dan rumahnya. Yang tinggal hanya dirinya sendiri bersama keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Detak jantungnya tak teratur, Bejo menggigil bingung.

Salam Bingung

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 08 September 2007 00:22

Wednesday, September 05, 2007

@ 046 : Ciuman dan Film

Dewasa ini kita sedang menuju zaman kebangkitan, kebangkitan dunia perfilman Nusantara. Aneka film diproduksi. Lusinan judul tersaji di bioskop. Genre seks dan horor paling banyak dan mendominasi.

Digemari adalah kata kuncinya. Jika sebuah film sudah digemari maka harapannya adalah dikonsumsi. Di sinilah transaksi jual beli terjadi. "Kenikmatan" ditukar dengan uang.

Apakah produk tersebut harus mencerdaskan (jadi tuntunan sekaligus tontonan)? Idealnya sih iya, ini kalau produser mau mencerahkan. Tapi jika tidak, pun bukanlah soal. Yang penting film tersebut laku jual.

Di negeri ini, hiburan adalah barang mewah. Tidak hanya lapar, rakyat juga sudah rakus akan hiburan. Merasa hidup terhimpit, rakyat membutuhkan obat penawar kepedihan. Obat itu mereka temukan dalam bentuk pil hiburan.

Yang sehat tentu tak membutuhkan pil tersebut. Mereka mempunyai daya tahan cukup prima, punya mazhab sendiri. Sayangnya, jumlah golongan ini masih sedikit.

Berciuman, Keberanian/Kebodohan?
“Di film XYZ ada adegan ciuman. Di situ anda kelihatan intim dan syur. Kenapa anda berani memerankan adegan tersebut? Bagaimana proses itu terjadi?” tanya seorang reporter.

“Sebenarnya saya tertarik dengan skenarionya. Jalan ceritanya bagus. Perannya menantang. Itu cuma akting. Nggak ada perasaan apapun. Kita berciuman karena memang tuntutan peran, sebatas profesionalitas saja. Chemistry datang karena kita sering ngobrol” jawab si artis ngeles.

Edan, benar-benar edan. Bagaimana tidak? Seseorang berlainan jenis, bukan keluarga, berciuman dengan sengaja di depan kamera. Hasilnya ditonton orang seantero negeri, kok disebut berani.

Sedihnya lagi, perbuatan tersebut dibilang hanya akting, tidak melibatkan rasa dan itu berarti profesional. Kalau begini apa bedanya dengan pelacuran!

Jelas ini adalah pembodohan. Nilai-nilai luhur berusaha digeser dan dilengserkan. Keberanian yang dulu identik dengan perjuangan para pahlawan, kini disamakan dengan ciuman. Sebuah proses pembodohan yang nyata.

Jika berciuman seperti diatas adalah wujud dari keberanian, kenapa semua orang tidak mau melakukannya? Kenapa orangtua/guru tidak mengajarkannya? Kenapa di tempat ibadah tidak diserukan?

Mengenaskan memang, kenapa anda tidak mau jujur mengaku bahwa saya ikhlas melakukan ini karena uang, bayarannya besar. Dengan demikian masalah menjadi terang. Janganlah berlindung atas nama akting dan profesionalisme.

Sadarkah anda bahwa dengan beradegan ciuman itu berarti anda benar-benar telah melakukan suatu perbuatan, yaitu mencium lawan main anda. Mau memakai perasaan atau tidak ini soal lain. Esensinya terletak pada perbuatan yang dilakukan. Jika anda berhubungan intim lalu direkam oleh kamera dan mendapat honor yang besar apakah itu juga disebut akting?

Oleh karena itu pertanyaan dan jawaban yang pas adalah kenapa anda mau bertindak bodoh “berciuman” di depan kamera? Karena saya dibayar mahal.

Sadarlah!
Negeri ini adalah negeri Timur, punya adat dan budaya sendiri. Biarkanlah negeri ini maju dengan identitasnya sendiri. Tidak perlu kita contoh adat dan budaya asing yang tak sesuai.

Kita semua mahfum negeri ini masih susah. Oleh karena itu, kita rindu karya yang membangun. Kita rindu orang yang jujur. Tidakkah kita bosan mendengar berita pemerkosaan?

Apa yang harus dilakukan rasanya tidak sulit. Jika dunia perfilman masih menyuguhkan “cium-ciuman” maka tidak usah kita tonton. Menontonnya berarti kita telah ikut andil melanggengkan pembodohan di negeri ini. Bisa?

Perlu diketahui juga dengan menonton film tersebut, hanya akan membuat orang yang “cium-ciuman” itu menjadi kaya. Lebih kaya dari petani yang memproduksi beras. Lebih kaya dari guru yang mencerdaskan tunas bangsa.

Efeknya, kelak anak cucu kita tidak mau jadi petani, tidak ingin jadi guru. Padahal, kedua orang tersebut nyata kontribusinya bagi kehidupan. Nah, apakah gejala seperti ini sudah terjadi?

Salam Terjadi

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 04 September 2007 23:20