Wednesday, September 05, 2007

@ 046 : Ciuman dan Film

Dewasa ini kita sedang menuju zaman kebangkitan, kebangkitan dunia perfilman Nusantara. Aneka film diproduksi. Lusinan judul tersaji di bioskop. Genre seks dan horor paling banyak dan mendominasi.

Digemari adalah kata kuncinya. Jika sebuah film sudah digemari maka harapannya adalah dikonsumsi. Di sinilah transaksi jual beli terjadi. "Kenikmatan" ditukar dengan uang.

Apakah produk tersebut harus mencerdaskan (jadi tuntunan sekaligus tontonan)? Idealnya sih iya, ini kalau produser mau mencerahkan. Tapi jika tidak, pun bukanlah soal. Yang penting film tersebut laku jual.

Di negeri ini, hiburan adalah barang mewah. Tidak hanya lapar, rakyat juga sudah rakus akan hiburan. Merasa hidup terhimpit, rakyat membutuhkan obat penawar kepedihan. Obat itu mereka temukan dalam bentuk pil hiburan.

Yang sehat tentu tak membutuhkan pil tersebut. Mereka mempunyai daya tahan cukup prima, punya mazhab sendiri. Sayangnya, jumlah golongan ini masih sedikit.

Berciuman, Keberanian/Kebodohan?
“Di film XYZ ada adegan ciuman. Di situ anda kelihatan intim dan syur. Kenapa anda berani memerankan adegan tersebut? Bagaimana proses itu terjadi?” tanya seorang reporter.

“Sebenarnya saya tertarik dengan skenarionya. Jalan ceritanya bagus. Perannya menantang. Itu cuma akting. Nggak ada perasaan apapun. Kita berciuman karena memang tuntutan peran, sebatas profesionalitas saja. Chemistry datang karena kita sering ngobrol” jawab si artis ngeles.

Edan, benar-benar edan. Bagaimana tidak? Seseorang berlainan jenis, bukan keluarga, berciuman dengan sengaja di depan kamera. Hasilnya ditonton orang seantero negeri, kok disebut berani.

Sedihnya lagi, perbuatan tersebut dibilang hanya akting, tidak melibatkan rasa dan itu berarti profesional. Kalau begini apa bedanya dengan pelacuran!

Jelas ini adalah pembodohan. Nilai-nilai luhur berusaha digeser dan dilengserkan. Keberanian yang dulu identik dengan perjuangan para pahlawan, kini disamakan dengan ciuman. Sebuah proses pembodohan yang nyata.

Jika berciuman seperti diatas adalah wujud dari keberanian, kenapa semua orang tidak mau melakukannya? Kenapa orangtua/guru tidak mengajarkannya? Kenapa di tempat ibadah tidak diserukan?

Mengenaskan memang, kenapa anda tidak mau jujur mengaku bahwa saya ikhlas melakukan ini karena uang, bayarannya besar. Dengan demikian masalah menjadi terang. Janganlah berlindung atas nama akting dan profesionalisme.

Sadarkah anda bahwa dengan beradegan ciuman itu berarti anda benar-benar telah melakukan suatu perbuatan, yaitu mencium lawan main anda. Mau memakai perasaan atau tidak ini soal lain. Esensinya terletak pada perbuatan yang dilakukan. Jika anda berhubungan intim lalu direkam oleh kamera dan mendapat honor yang besar apakah itu juga disebut akting?

Oleh karena itu pertanyaan dan jawaban yang pas adalah kenapa anda mau bertindak bodoh “berciuman” di depan kamera? Karena saya dibayar mahal.

Sadarlah!
Negeri ini adalah negeri Timur, punya adat dan budaya sendiri. Biarkanlah negeri ini maju dengan identitasnya sendiri. Tidak perlu kita contoh adat dan budaya asing yang tak sesuai.

Kita semua mahfum negeri ini masih susah. Oleh karena itu, kita rindu karya yang membangun. Kita rindu orang yang jujur. Tidakkah kita bosan mendengar berita pemerkosaan?

Apa yang harus dilakukan rasanya tidak sulit. Jika dunia perfilman masih menyuguhkan “cium-ciuman” maka tidak usah kita tonton. Menontonnya berarti kita telah ikut andil melanggengkan pembodohan di negeri ini. Bisa?

Perlu diketahui juga dengan menonton film tersebut, hanya akan membuat orang yang “cium-ciuman” itu menjadi kaya. Lebih kaya dari petani yang memproduksi beras. Lebih kaya dari guru yang mencerdaskan tunas bangsa.

Efeknya, kelak anak cucu kita tidak mau jadi petani, tidak ingin jadi guru. Padahal, kedua orang tersebut nyata kontribusinya bagi kehidupan. Nah, apakah gejala seperti ini sudah terjadi?

Salam Terjadi

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 04 September 2007 23:20

No comments: