Tuesday, October 02, 2007

@ 048: Lagi Puasa

Mas blognya kok gak diupdate, banyak kerjaan ya?
enggak kok, cuma lagi puasa

Lagi puasa apa gak dapat ide ngoret-oret?
lagi puasa

Lagi puasa apa males nulis hayo?
lagi puasa

Lagi puasa apa patah hati, hihihi suit-suit?
lagi puasa

Mas gila ya?
lagi puasa

Mas, sadar-sadar?
lagi puasa

Mas, heehh tangi2 kebakaran2?
lagi puasa

@#$&>#@%$#^%$#?
???

-dps-

Monday, September 10, 2007

@ 047 : Bejo Mencari Tuhan

Bejo mengembara mencari Tuhan. Katanya Tuhan ada di tempat ibadah. Bejo segera bergegas. Sampai di tempat ibadah matanya menyalak, memperhatikan dengan serius tapi dia tidak menemukan Tuhan. Yang dilihat hanya sekumpulan orang yang sedang berdoa.

Bejo keluar, melanjutkan perjalanannya. Perjalanan yang dia sendiri tak tahu sampai kapan akan berakhir.

Waktu telah berganti hari. Sudah dua kali matahari muncul dari ufuk Timur. Di jalan, udara mendidih. Panasnya bisa membakar kulit. Di tengah terik seperti itu Bejo beristirahat di bawah pohon mangga. Raut mukanya kusut, kelelahan terbakar letih.

“Kisanak bangun kisanak, silahkan istirahat di dalam” terdengar suara membuyarkan mimpinya.

Bejo terbangun dengan kaget. Spontan dia pasang kuda-kuda. Matanya mencari sumber suara. Jangan-jangan rampok, desahnya dalam hati.

“Tenang kisanak, tidak ada bahaya. Maaf kalau mengagetkan. Perkenalkan, nama saya Sarinem”.

Mendengar suara kedua, sikap Bejo berubah drastis. Dari siaga sempurna kembali ke wajah malasnya. “Ooo, tidak papa. Saya juga minta maaf sudah tertidur di pekarangan nyisanak tanpa izin. Nama saya Bejo” balasnya.

Itulah awal pertemuan Bejo dengan Sarinem. Gadis desa yang berwajah pas-pasan, pas ayunya.

“Dari tadi saya perhatikan dari dalam rumah, sepertinya kisanak kelelahan. Saya tidak tega. Udara di luar sangat menyengat, tidak baik buat kesehatan. Mari masuk, istirahat di dalam”.

Suara Sarinem sangat dingin, menetes membasahi kerongkongan Bejo yang kerontang. Entah kenapa Bejo mengikuti begitu saja langkah Sarinem menuju rumah. Suara Sarinem sepertinya mengandung tenaga dalam dan telah membius Bejo.

Sampai di dalam rumah, Bejo heran. Kok masih ada orang baik seperti Sarinem. Dari tingkah polah dan penampilan sepertinya dia bukan orang sembarangan, kanuragannya pastilah tinggi. Bejo membatin.

“Mohon maaf, kalau boleh saya tahu. Nama desa ini apa ya?” tanya Bejo penasaran.

“Desa Makmuroto. Penduduk di desa ini pekerja keras semua. Namun, di musim panas seperti ini mereka biasanya bermalasan di rumah. Kalau juga boleh saya tahu, kisanak hendak pergi kemana?”

“Entahlah, saya tidak tahu. Saya hanya ingin mencari Tuhan. Apakah nyisanak tahu, dimana Tuhan berada?”

“Istirahatlah dulu barang sebentar. Saat letih sudah hilang silahkan kisanak melanjutkan perjalanan. Kamar itu sudah lama tidak ada yang meniduri, namun masih sering saya bersihkan. Saya akan buatkan kopi kalau ada perlu apa-apa tiup saja seruling ini” ucap Sarinem tidak menjawab pertanyaan Bejo sekatapun.

Seperti tadi, suara Sarinem kali ini masih sama dinginnya. Bejopun seperti terhipnotis, mengikuti apa yang dikatakan Sarinem, menuju pembaringan dan merebahkan tubuhnya yang sudah lama payah.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara dari balik cahaya.

“Wahai jiwa yang sedang gelisah, untuk apa kamu mencari Tuhan”.

“Saya ingin bertanya kepada-Nya, kenapa di bumi ini manusia membuat kerusakan, bahkan saling bunuh atas nama Tuhan” jawab Bejo.

"Ouw, ketahuilah wahai jiwa yang gelisah. Sejatinya Tuhan ada di dalam hati setiap manusia. Hati adalah misteri terbesar bagi manusia itu sendiri. Jika kamu bisa memecahkan misteri itu mungkin kamu akan menemukan Tuhan. Sayang, hati suka terselimuti kabut tebal. Sehingga manusia tidak bisa lagi membedakan antara yang haq dan bathil. Itulah kenapa angkara murka merajalela. Oleh karena itu, hanya mereka yang berhati bersihlah yang bisa merasakan-Nya. Tuhan tidak bisa dilihat dengan kasat mata, sebab Tuhan hanya bisa dijumpai setelah semua urusan di bumi ini tamat”

Bejo terperanjat. Bersamaan dengan itu, hilang pula suara dari balik cahaya. Juga musim panas, pohon mangga, desa Makmuroto, Sarinem dan rumahnya. Yang tinggal hanya dirinya sendiri bersama keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Detak jantungnya tak teratur, Bejo menggigil bingung.

Salam Bingung

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 08 September 2007 00:22

Wednesday, September 05, 2007

@ 046 : Ciuman dan Film

Dewasa ini kita sedang menuju zaman kebangkitan, kebangkitan dunia perfilman Nusantara. Aneka film diproduksi. Lusinan judul tersaji di bioskop. Genre seks dan horor paling banyak dan mendominasi.

Digemari adalah kata kuncinya. Jika sebuah film sudah digemari maka harapannya adalah dikonsumsi. Di sinilah transaksi jual beli terjadi. "Kenikmatan" ditukar dengan uang.

Apakah produk tersebut harus mencerdaskan (jadi tuntunan sekaligus tontonan)? Idealnya sih iya, ini kalau produser mau mencerahkan. Tapi jika tidak, pun bukanlah soal. Yang penting film tersebut laku jual.

Di negeri ini, hiburan adalah barang mewah. Tidak hanya lapar, rakyat juga sudah rakus akan hiburan. Merasa hidup terhimpit, rakyat membutuhkan obat penawar kepedihan. Obat itu mereka temukan dalam bentuk pil hiburan.

Yang sehat tentu tak membutuhkan pil tersebut. Mereka mempunyai daya tahan cukup prima, punya mazhab sendiri. Sayangnya, jumlah golongan ini masih sedikit.

Berciuman, Keberanian/Kebodohan?
“Di film XYZ ada adegan ciuman. Di situ anda kelihatan intim dan syur. Kenapa anda berani memerankan adegan tersebut? Bagaimana proses itu terjadi?” tanya seorang reporter.

“Sebenarnya saya tertarik dengan skenarionya. Jalan ceritanya bagus. Perannya menantang. Itu cuma akting. Nggak ada perasaan apapun. Kita berciuman karena memang tuntutan peran, sebatas profesionalitas saja. Chemistry datang karena kita sering ngobrol” jawab si artis ngeles.

Edan, benar-benar edan. Bagaimana tidak? Seseorang berlainan jenis, bukan keluarga, berciuman dengan sengaja di depan kamera. Hasilnya ditonton orang seantero negeri, kok disebut berani.

Sedihnya lagi, perbuatan tersebut dibilang hanya akting, tidak melibatkan rasa dan itu berarti profesional. Kalau begini apa bedanya dengan pelacuran!

Jelas ini adalah pembodohan. Nilai-nilai luhur berusaha digeser dan dilengserkan. Keberanian yang dulu identik dengan perjuangan para pahlawan, kini disamakan dengan ciuman. Sebuah proses pembodohan yang nyata.

Jika berciuman seperti diatas adalah wujud dari keberanian, kenapa semua orang tidak mau melakukannya? Kenapa orangtua/guru tidak mengajarkannya? Kenapa di tempat ibadah tidak diserukan?

Mengenaskan memang, kenapa anda tidak mau jujur mengaku bahwa saya ikhlas melakukan ini karena uang, bayarannya besar. Dengan demikian masalah menjadi terang. Janganlah berlindung atas nama akting dan profesionalisme.

Sadarkah anda bahwa dengan beradegan ciuman itu berarti anda benar-benar telah melakukan suatu perbuatan, yaitu mencium lawan main anda. Mau memakai perasaan atau tidak ini soal lain. Esensinya terletak pada perbuatan yang dilakukan. Jika anda berhubungan intim lalu direkam oleh kamera dan mendapat honor yang besar apakah itu juga disebut akting?

Oleh karena itu pertanyaan dan jawaban yang pas adalah kenapa anda mau bertindak bodoh “berciuman” di depan kamera? Karena saya dibayar mahal.

Sadarlah!
Negeri ini adalah negeri Timur, punya adat dan budaya sendiri. Biarkanlah negeri ini maju dengan identitasnya sendiri. Tidak perlu kita contoh adat dan budaya asing yang tak sesuai.

Kita semua mahfum negeri ini masih susah. Oleh karena itu, kita rindu karya yang membangun. Kita rindu orang yang jujur. Tidakkah kita bosan mendengar berita pemerkosaan?

Apa yang harus dilakukan rasanya tidak sulit. Jika dunia perfilman masih menyuguhkan “cium-ciuman” maka tidak usah kita tonton. Menontonnya berarti kita telah ikut andil melanggengkan pembodohan di negeri ini. Bisa?

Perlu diketahui juga dengan menonton film tersebut, hanya akan membuat orang yang “cium-ciuman” itu menjadi kaya. Lebih kaya dari petani yang memproduksi beras. Lebih kaya dari guru yang mencerdaskan tunas bangsa.

Efeknya, kelak anak cucu kita tidak mau jadi petani, tidak ingin jadi guru. Padahal, kedua orang tersebut nyata kontribusinya bagi kehidupan. Nah, apakah gejala seperti ini sudah terjadi?

Salam Terjadi

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 04 September 2007 23:20

Sunday, August 26, 2007

@ 045 : Ikhlas

Sore itu cuaca cerah. Angin sepoi-sepoi datang menghantam dinding padepokan Lingi. Padepokan ini terletak di desa Wlingi, desa yang berada di kaki dua gunung, Kelud dan Kawi.

Di balai kayu di depan padepokan Bejo sedang leyeh-leyeh ditemani oleh Kisareh. Saat itu Bejo tingkat empat, usianya masih sangat belia.

Ngger” sapa Kisareh.
Inggih Ki” jawab Bejo pelan.
"Ngger, wong lek amal kuwi kudu sing ikhlas, ikhlas kuwi koyok wong mari nang kali buang reged. Mari ditokne yo wis, ora usah dieleng-eleng maneh opo dicritak-critakne" suara Kisareh sejuk membawa petuah.

Terjemahan :
“Nak” sapa Kisareh.
“Iya Ki” jawab Bejo pelan.
“Nak, orang kalau amal itu harus ikhlas, ikhlas itu seperti orang habis dari sungai buang hajat. Setelah dikeluarkan ya sudah, enggak usah diingat-ingat lagi atau diceritakan kemana-mana” suara Kisareh sejuk membawa petuah.

Bejo hanya diam saja sambil manggut-manggut menelan petuah Kisareh.

Salam manggut-manggut

(k) dps~
Kemayoran - Jakarta, 26 Agustus 2007 15:03

Tuesday, August 21, 2007

@ 044 : Hobi Menghina, HP Hilang

Saya punya pengalaman unik nich. Saya punya seorang teman sebut saja namanya X. Saya dan X ini sering makan di warung pinggir jalan. Entah pecel lele, ayam goreng, tahu campur, rujak cingur dan lain-lain.

Namanya juga nggirlan (pinggir jalan) pengemis dan pengamen itu buaanyaaak banget, belum makan saja kami sudah dihibur gitar dan suara merdu. Kadang juga ditungi kotak amal oleh bocah kecil berpeci atau berjilbab yang sangat lucu dan imut sekali.

Si X ini menurut saya punya tabiat yang jelek yaitu sering nggerutu kalau didatangi artis dadakan ataupun pengemis. Dia bilang dasar orang maleslah, gak mau kerja, badannya masih seger kok ngemis dll, yang intinya umpatan-umpatan lah. Buru-buru ngasih dolar eh rupiah ding :)

Saya sering mendinginkannya. Maksud saya, ya sudahlah kalau ndak mau ngasih duit mbok ya jangan ngumpat-ngumpat dan merendahkan kayak gitu. Hal seperti itu gak baik. Dalam harta kita itu kan juga terdapat hak orang lain, kalau diminta orang kecil gak boleh, bagaimana kalau nanti diminta Tuhan dengan paksa. Bersikaplah yang sopan dan baik kepada orang kecil seperti mereka.

Kamu itu orang terdidik dan kantoran, tidak seperti mereka. Apapun alasannya hidup di jalanan seperti mereka itu sangat keras.

Tapi namanya juga watak susah diubah memang. Tetap saja, kalau saya makan sama si X hal seperti di atas masih sering dia lakukan. Pendek kata teman saya ini selain acuh juga susah banget (cethil) ngluarin rupiah untuk artis dadakan pun pengemis. Banyak pemikiran dan pertimbangan, mungkin serupa dengan waktu dia ngerjain soal matematika saat Ebtanas.

Suatu ketika, X mengeluh.
X : HP ku ilang.
A : Kok bisa, dimana? kapan? bagaimana?
X : Tadi waktu naik bis, dicopet orang.
A : Hhhmmm (dalam hati untung cuma HP kalau mobilmu yang ilang gimana, makanya jangan suka menghina sama orang kecil).

Apakah ada korelasinya antara HP hilang dan hobi menghina orang kecil, terserah kepercayaan anda saja?

Salam kepercayaan

(k) dps~
Kebon Sirih - Jakarta, 21 Agustus 2007 15:45

Thursday, July 26, 2007

@ 043 : Fauzi Namaku

Makanan khas Jawa Timur seperti rujak cingur dan tahu campur adalah makanan kesukaanku. Malam hari di jalan Garuda Kemayoran, ada satu warung yang menjual menu tersebut, lumayan enak. Karena cacing di perut sudah minta makan dan yang diminta adalah rujak cingur maka aku sempatkan mampir di warung langganan tersebut.

Belum lama duduk dan makananpun belum datang artis ibukota sudah menghibur dengan lagunya Peterpan Bintang di Surga.

Jreng..
Lelah tatapku mencari
Arti untukku membagi
Menemani langkahku
Namun tak berarti

Kuperhatikan tangan terampil itu memetik dawai dari kunci Em F G Bm.

Beberapa menit berlalu datang bocah kecil memakai kaos MU bertuliskan Beckam bercelana pendek dan sandal jepit.

Om makan dong Om” teriaknya lirih sambil mengatungkan tangan. Aku tatap bocah itu dan bilang “tadi temennya dah minta tu”. Om makan dong Om” teriaknya lagi. Aku diamkan saja (sebenarnya ngetes sampai sejauh mana dia bertahan). “Om makan dong Om” teriaknya lagi masih dengan tangan ngatung.

Naluri kebapakanku muncul, hal ini sering aku biarkan bahkan sampai terpupuk :)

Aku(A) : Namanya siapa?
Bocah(B) : Fauzi Om
A : Fauzi siapa?
B : Rahmat Fauzi jawabnya lugu
A : Fauzi sekolah?
B : Iya Om..
A : Kelas berapa?
B : Kelas Enam
A : Sekolahnya dimana?
B : Kemayoran Timur
A : Kenapa Fauzi kok minta duit?
B : Buat beli buku Om
A : Ahhh boong, buat jajan ya, ledekku sambil tersenyum
B : Enggak Om, kalau jajan minta sama Bapak
A : Emangnya dikasih sama Bapak
B : Dikasih Om
A : Dikasih berapa?
B : Seribu
A : Buku apa yang mau Fauzi beli?
B : Sejarah sama Bahasa Indonesia
A : Harganya berapa?
B : 36.500 Om
A : Fauzi Bapaknya kerja apa?
B : Tukang pijit Om
A : Kalau ibunya?
B : Ibu nggak ada Om, jawabnya polos
A : (Mak deg, jgn2 cerai) Lho kemana? (Waktu nanya ini gak tega, takut melukai hatinya, duh Gusti ampuni hambaMu ini)
B : Udah meninggal Om
A : (Inna Lillahi Wa Inna Ilahi Rojiun) Fauzi, duitnya dikasih sama Bapak ya?
B : Enggak Om, Fauzi simpan sendiri di tas
A : Buat apa?
B : Buat beli buku, jawabnya datar dengan kepolosannya
A : Fauzi habis SD mau nerusin ke SMP
B : Enggak Om, katanya Bapak mau di pesantrenin
A : Pesantren mana?
B : Daerah Tasik
A : Fauzi sekolah yang pinter ya..
B : Iya Om (Lalu dia melangkah pergi menuju warung sebelah)

Fauzi, sedini itukah kamu harus bekerja keras. Andai saja Om punya banyak duit, andai saja Om punya sekolahan?

Salam andai

(k) dps~
Garuda - Jakarta, 26 Juli 2007 22:45

Wednesday, July 25, 2007

@ 042 : Di Sebuah Lampu Merah

Hari itu pagi sudah bercampur siang, mungkin jam menunjuk pukul 10. Di hari Senin seperti ini seperti biasa geliat ibu kota semakin menggairahkan. Ribuan manusia beraktifitas demi sesuap nasi dan seteguk kesenangan. Ada yang terlihat semangat dan banyak juga yang bermalas-malas ria.

Kota yang terbesar di negeri ini seperti menyimpan gula berton-ton, menarik segala semut dan seakan tak pernah habis meski digerus terus setiap hari. Di hari Senin tepatnya di perempatan Senin ku lihat adegan yang menarik diantara geliat ribuan orang tersebut. Sebuah mobil mercedes benz tertahan oleh lampu merah, di dalamnya hanya satu orang yang merangkap sekaligus sopir. Seorang pria dengan kemeja putih dengan dasi warna gelap menghiasi tubuhnya. Melihat penampilannya yang penuh dengan barang kaum jetset aku percaya orang dibalik kemudi tersebut pastilah berduit banyak.

Sementara, hanya beberapa cm dari pria tersebut berdiri seorang ibu yang lusuh, tepatnya di depan kaca jendela mobilnya. Apa yang dilakukan ibu tersebut yaitu hanya mengulurkan tangannya, berharap belas kasih dan rasa iba dari si pengemudi mobil tentunya. Siapa tahu kecipratan rupiah yang bisa digunakan untuk mengisi perutnya demi menyambung hidup atau membiayai anaknya yang mungkin sangat berprestasi di sekolahan. Ibu seperti ini sering dicap sebagai sampah masyarakat, biang kejahatan dan makhluk yang menjijikkan yang seakan-akan seperti kecoak yang harus ditumpas habis.

Dari kejauhan aku perhatikan terus adegan apa yang berikutnya bakal terjadi. Apakah si pengemudi itu memberi uang atau mengacuhkannya. Lama ibu tersebut terpaku di depan kaca mobil merci itu. Pikiranku mulai liar dan hal ini sering aku biarkan. Lamunanku mulai mengarah ke internet, teringat tentang berita-berita himbauan agar jangan memberi duit kepada peminta-minta, anak jalanan, pengamen dll. Hal itu hanya akan membuat mereka males, tidak mendidik dan tetek bengek lainnya lah.

Lama mataku terus mengamati peristiwa demi peristiwa, di dalam mobil si sopir diam saja sementara si ibu juga masih bergeming di tempatnya. Lampu berubah hijau dan mobil itupun melesat tanpa mengeluarkan rupiahpun. Rupanya bagi pengemudi tersebut uang serupiah itu amat sangat berharga, sehingga tak boleh keluar cuma-cuma meski diiming-imingi pahala. Rupanya untuk mengeluarkan uang seribu rupiah buat peminta itu butuh pertimbangan yang ekstra, mungkin tidak seperti waktu beli kue J-CO atau kopi starbuck.

Melihat akhir dari adegan itu, dadaku sesak dan senyumku semakin kecut. Sudah susah rasanya timbul belas kasihan seandainya mobil merci itu tabrakan terlindas tronton ataupun busway.

Sementara tanpa kenal lelah di tengah panas yang menyengat, debu dan lautan karbondioksida jalanan, si ibu itu pindah tempat dan mulai beranjak dari mobil ke mobil lagi jika lampu merah menyala. Sambil tetap berharap kecipratan rupiah dan pasrah kepada Tuhan-Nya yang Maha Penyayang. Duh Gusti, apakah memang begitu berat mengeluarkan uang seribu itu...

(k) dps~
Palmerah - Jakarta, 23 Juli 2007 07:16