Friday, March 24, 2006

Buruh

Revisi UU 13/2003 Ciptakan Perbudakan

sumber : Pikiran Rakyat - Jumat, 10 Maret 2006

BANDUNG, (PR).-
Upaya pemerintah merevisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak terlepas dari tekanan negara-negara kapitalis, dalam upaya menciptakan tenaga kerja murah dan meningkatkan keuntungan mereka berinvestasi di Indonesia. Upaya itu dikemas seolah menciptakan iklim investasi untuk mendorong pembangunan nasional.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN), Bambang Wirahyoso kepada "PR", menanggapi aksi demo yang dilakukan kaum buruh di Gedung Sate Rabu (8/3) dan Kamis (9/3). Menurut dia, salah satu pasal yang mencerminkan penilaian itu adalah legalisasi praktik outsourcing yang merupakan suatu bentuk praktik perbudakan modern.

"Pemerintah telah menjadi kuda tunggangan kapitalis, predator internasional dan neoliberalisme," ujarnya kepada "PR", Kamis (9/3) di Bandung.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan filosofi dasar bangsa kita, Pancasila dan UUD 1945. Negara kita bukan kapitalisme atau liberalisme. Tetapi dengan merevisi UU No. 13 Tahun 2003 justru mereduksi hak-hak buruh sehingga bertentangan dengan filosofi dasar sebagaimana dimaksud.

Tidak heran, kata dia, jika kebijakan outsourcing yang tercantum dalam Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan mengganggu ketenangan kerja bagi pekerja, yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menganggap mereka sekadar komoditas, dan UU dipandang kurang protektif terhadap pekerja.

"Artinya, UU Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang memberikan hak bagi warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak," ungkap Bambang.

Hal lain yang merugikan yakni revisi pasal 156, di mana telah terjadi pengurangan nilai perhitungan kompensasi (pesangon). Dalam satu komponen pesangon khusus perhitungan masa kerja terjadi penurunan dari maksimal 9 kali upah menjadi 7 kali upah.

"Ini tentu membuat pekerja yang telah mengabdikan diri kepada perusahaan tidak mendapat penghargaan yang layak," ungkap Bambang. Oleh karena itu, diungkapkan Bambang, SPN beserta sembilan serikat pekerja lain yang tergabung dalam Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak dengan tegas revisi UU tersebut.

Sementara itu, di Gedung Sate, aksi penolakan terhadap revisi UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 terus disuarakan oleh para pekerja. Kali ini, dilakukan oleh sekira seratus orang pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (F-SBSI) 1992 Kota Bandung di halaman Gedung Sate, Jln. Diponegoro Bandung, Kamis (9/3).

Aksi yang dimulai sekira pukul 9.30 WIB itu diwarnai pendobrakan pintu gerbang Gedung Sate dan pembakaran ban. Hal itu sebagai bentuk kekecewaan mereka karena tidak berhasil bertemu dengan perwakilan dengan komisi terkait di DPRD Provinsi Jabar. Akibatnya, mereka menggedor-gedor pintu gerbang hingga pagar besi itu ambruk.

Untuk menghindari massa SBSI masuk ke Gedung Sate, aparat kepolisian Polwiltabes Bandung membuat barikade cukup ketat. Secara bersamaan pula, petugas pengamanan mendirikan kembali pagar besi yang ambruk itu. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat pengunjuk rasa. Mereka membakar dus dan ban. Namun, tidak berselang lama, petugas pun langsung memadamkan api.

Menurut Koordinator SBSI Jabar, Tatang Rochyana dan Gunawan, koordinator aksi, mereka menolak secara tegas revisi UU No. 13 Tahun 2003 karena hal itu hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha dan merugikan kaum pekerja.

Contohnya, kata Tatang, revisi peraturan tersebut menghilangkan hak cuti, pesangon, pengekangan hak mogok kerja akibat adanya sanksi pemutusan hubungan kerja dan ganti rugi. Selain itu, pesangon tidak akan dibayarkan kepada pekerja apabila perusahaan mengalami force majeure serta penghilangan sistem uang pensiun.

Untuk itu, lanjut Tatang, mereka mendesak Pemprov dan DPRD Jabar mendukung penolakan pembatalan revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang merugikan pekerja. Salah satunya, dengan mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah pusat agar membatalkan revisi tersebut. (A-151/A-136)***

Tuesday, March 21, 2006

Glosari Budaya Cewek

Bete: boring top, bad temprament, bosan total, butuh tatih-tayang (butuh kasih sayang). Bete paling sering digunakan untuk menunjuk suasana hati yang sedang tidak menyenangkan, malas melakukan sesuatu, dan bosan. Penyebab bete yang paling populer bagi cewek adalah diputus pacar, ulangan atau ujian tidak sukses, menunggu terlalu lama, batal nge-date (janjian) bareng teman atau pacar, uang saku dipotong, dan dimarahi orang tua. Mengurung diri di kamar, belanja, ngemil (memakan makanan ringan), atau jalan-jalan bareng teman adalah cara buat mengusir bete.

Curhat: ‘curahan hati’, berbicara untuk “berbagi perasaan” dengan teman dekat. Curhat bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, seperti di kamar, di kelas, di mall, di tempat nongkrong, toilet, bahkan curhat untuk anak SMU bisa dilakukan saat upacara bendera. Soal yang dicurhatkan bisa soal pacaran, orangtua, teman, tempat nongkrong yang baru, sampai masalah duit. Ada cewek yang menghabiskan waktu seharian untuk curhat. Curhat bisa menimbulkan perasaan bebas, lega, menambah semangat, tapi sekaligus bisa juga menambah persoalan.

Dandan: aktivitas sehari-hari untuk mempercantik diri. Untuk cewek yang biasa dandan, dandanan yang wajar itu cukup bedak dan lipstik. Tapi ada cewek yang tidak biasa dan tidak bisa dandan sama sekali. Dandan juga termasuk memadukan pakaian, tas dan sepatu/sandal yang akan dipakai. Untuk kebanyakan cewek, me-mix dan me-match-kan pakaian, sepatu, dan tas adalah hal yang sangat penting.

Gaul: tidak ketinggalan zaman, trendi. Ukuran kegaulan adalah pengetahun tentang perkembangan musik dan fesyen, rambut berwarna, berani tampil beda, kendaraan yang dimodifikasi dan diberi beragam asesoris, telepon genggam model paling baru, dan yang terpenting tidak lemot (‘lemah otak’) dan tulalit (“nggak nyambung”) kalau ngobrol.

Gebetan: seseorang yang sedang ditaksir oleh cewek (juga disebut kecengan, dari kata ‘ngeceng’). Gebetan jumlahnya bisa lebih dari satu. Bagi cewek, digebet lebih dari satu cowok merupakan suatu kebanggaan. Aktivitas mencari gebetan mencari gebetan di sebut ngegebet.

Inner Beauty: “cantik batin”. Kecantikan tubuh akan dianggap lebih berarti jika disertai kecantikan batin. Menurut majalah Gadis meskipun cantik layaknya Dian Sastrowardoyo (bintang Ada Apa dengan Cinta?), seorang cewek tetap terlihat biasa kalau tidak didukung oleh “kecantikan dari hati”. Yang disebut “cantik hati adalah cerdas, ramah, murah senyum, punya banyak teman, dan rendah hati. Banyak cewek yakin bahwa kekuatan inner beauty juga dapat membuat cowok “bertekuk lutut”.

Jaim: ‘jaga image’. Suatu cara untuk mengubah diri demi kepentingan tertentu. Jaim bersifat sementara dan dilakukan untuk mengelabui orang lain. Misalnya saja ketika seorang cewek ngegebet seorang cowok, ia pasti men-jaim-kan diri di depan cowok gebetannya karena tidak ingin terlihat agresif, padahal si cewek sebenarnya sangat menyukai si cowok. Si cewek misalnya, tidak ingin menunjukkan bahwa ia tidak suka tertawa keras, tidak suka makan banyak, dan yang paling penting si cewek tidak mau terlalu menunjukkan bahwa ia menyukai si cowok. Di depan si cowok ia harus tampak cool dan jangan sampai menyampaikan rasa sukanya lebih dulu. Tetapi jika sudah menjadi pacar—artinya: tujuannya sudah tercapai—ia tidak lagi jaim. Jaim bahkan harus dihindari, karena dianggap sebagai kemunafikan.

Ngeceng: pamer. Misalnya pamer baju baru, pamer mobil baru bahkan pacar baru pun dipamerkan. Ngeceng lebih sering dilakukan cewek-cewek di mall atau tempat-tempat yang “bertaburan cowok cakep”. Ngeceng biasanya dilakukan rame-rame. Jika beruntung ngeceng dapat berbuah kenalan seorang atau komplotan cowok yang akhirnya bisa dijadikan gebetan bahkan pacar.

Ngedugem: dari kata dugem, ‘dunia gemerlap’. Ngedugem adalah aktivitas bersenang-senang yang biasanya dilakukan malam hari di kafe atau diskotik. Yang dilakukan ketika ngedugem biasanya menyanyi karaoke, jojing (joget-joget di diskotik), atau sekedar minum-minum. Cewek-cewek biasanya berpakaian lebih berani dan tebuka saat ngedugem. Ngedugem biasanya dilakukan pada akhir pekan. Kadang-kadang cewek dilarang ngedugem oleh orang tua atau pacarnya, karena ngedugem identik dengan “cewek nakal”.

Nongkrong: aktivitas berkumpul dengan kelompok sepermainan (geng) atau pacar di suatu tempat yang biasanya sudah ditentukan. Cewek biasanya memilih nongkrong di kafe, mall, tempat les, dsb. Ada juga yang membuat tempat nongkrong sendiri (semacam markas tetap sebuah geng). Nongkrong dianggap lebih gaya dan bergengsi kalau mambawa mobil. Nongkrong tidak terlalu butuh banyak biaya seperti nyalon. Biasanya cewek-cewek lebih memilih nongkrong dengan teman-teman se-geng dibanding dengan cowoknya. Nongkrong biasanya juga diikuti dengan ngerumpi (bergosip).

Nyalon: dari kata ‘salon’, tempat “memperbaiki penampilan”. Yang paling sering dilakukan cewek ketika nyalon adalah creambath (memberi krim vitamin pada rambut biar rambutr jadi sehat), facial (salah satu jalan untuk membuat kulit muka lebih halus, putih dan bebas jerawat), menicure-pedicure (perawatan kaki dan tangan, biasa disingkat ‘meni-pedi’), juga meluruskan dan mewarnai rambut dengan warna-warna menyala (oranye, kuning, merah, hijau, coklat), ada juga luluran, mandi sauna, sampai pijat akupuntur untuk menguruskan badan. Untuk cewek-cewek berduit nyalon adalah rutinitas. Aktivitas nyalon sering dijadikan ajang ngeceng, gaul, dan unjuk diri bagi cewek-cewek.

Prom Night: pesta perpisahan. Acara ini dijadikan ajang untuk menunjukkan diri (kecantikan, kekayaan, pacar baru, dsb.). Bagi yang belum punya cowok, prom night merupakan saat-saat yang mendebarkan untuk dilirik cowok. Majalah-majalah remaja pun sampai menyiapkan edisi prom night yang berisi tips-tips sebelum dan ketika prom night berlangsung. Biasanya ada pemilihan King & Queen of Prom Night. Itulah yang membuat cewek-cewek ingin tampil beda.

Singkatan
HTM: Hubungan tanpa menikah.
HTS: Hubungan tanpa status.
HBL: Haus belaian laki-laki.
HBW: Haus belaian wanita.
PTS: Putus (pacaran).
TTM: Teman tapi mesra
Setia: Selingkuh tiada akhir.
SMS: Sarana menuju selingkuh.
Cokiber: Cowok kita bersama.
Jigun: Jiwa guncang.
DDA: Debar-debar asmara.
MBA: Married by accident.
CPK: Cipokan (ciuman).
FK: French Kiss
ML: Making Love (atau ‘Mama Lemon')

Contoh dalam kalimat: Gue suka ma cowok, dia sahabat gue sendiri, namanya Luki. Gue suka ama dia tapi gue gak tau apakah dia juga suka ama gue. Tapi kayaknya sih dari sikap-sikap dia ke gue dia juga suka ama gue. Kata temen2 gue kita TTM/HTS gitu deh. Iya juga kali ya. Gue sangat menikmati saat-saat kayak gini. Akhir-akhir ini gue sering banget speechless en DDA gitu. Seminggu yang lalu, tim cheerleader gue pentas. Tanpa gue sangka-sangka ternyata dia dateng buat ngasih support gitu ke gue. Gue kan jadi Jigun pas pentas. Kayaknya gue ama dia sama2 HBL n HBW gitu deh. Temen2 cheers gue juga pada suka ama dia, soalnya selain anaknya luncang (lucu), dia juga ramah banget sama semua orang. Saking baeknya dia ama temen2 gue, gue ama anak2 punya kesepakatan buat jadiin dia cokiber. Dan dia keliatannya gak keberatan gitu dengan istilah itu. Sukur deh. Gue bener-bener lagi berbunga-bunga sekarang, karena kemaren pas ulangtaun gue, kita cpk-cpk gitu trus ya u know lah..abis gitu mama lemon deh.. Hehehe..

Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003

Oleh Annisa Muharammi

SIAPA LEBIH MERUSAK LINGKUNGAN: ORANG MISKIN ATAU ORANG KAYA?

The greatest threat to the equilibrium of the environment comes from the way the economy is organized... ever increasing growth and accumulation (Ravaioli, 1995: 4)

  1. Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, sehingga lingkungan hidup kita rusak, siapa biang keladinya? Penduduk miskin di hutan-hutan dan sekitar hutan menebang hutan negara untuk memperoleh penghasilan untuk makan. Tetapi kayu-kayu yang diperolehnya ditampung calo-calo untuk dijual, dan kemudian dijual lagi untuk ekspor, yang semuanya “demi keuntungan”. Siapa yang paling bersalah dalam proses perusakan lingkungan ini? Yang jelas tidak adil adalah kalau yang disalahkan hanya orang-orang miskin saja, sedangkan orang-orang kaya adalah “pahlawan pembangunan”.

  1. Apabila dikatakan penduduk miskin terbiasa ... “membuang kotoran manusia secara sembarangan yang akan berakibat pada terjangkitnya diare ...” atau “penduduk miskin hanya menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, dan mereka cenderung mengabaikan pemeliharaan lingkungan sekitar”, kiranya pernyataan ini juga tidak adil. Pemenuhan kebutuhan pokok penduduk miskin bukan masalah “hanya”, tetapi “mutlak” harus dipenuhi untuk hidup. Penduduk miskin tidak memperhatikan lingkungan hidup sekitarnya bukanlah karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka melakukannya dengan terpaksa.

  1. Agar adil kita harus mengakui bahwa kerusakan lingkungan khususnya hutan, disebabkan para pemodal yang haus keuntungan, “memesan” kayu dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri yang memang permintaannya sangat besar pula. Akumulasi keuntungan dan kekayaan yang tidak mengenal batas harus dianggap sebagai penyebab utama kerusakan/pengrusakan hutan, bukan karena orang-orang miskin banyak yang merusak hutan. Maka untuk menjamin terjadinya pembangunan yang berkelanjutan kita harus menghentikan keserakahan orang-orang kaya. Adalah sangat keliru ilmu ekonomi justru memuja “keserakahan”.

  1. Perkembangan pedagang kaki lima (PKL) yang tumbuh menjamur dimana-mana, yang dianggap merusak lingkungan karena mengotori jalan dan mengganggu ketertiban, juga tidak mungkin ditimpakan kesalahannya pada PKL karena pekerjaan itulah satu-satunya “mata pencaharian” yang dapat dilakukan dalam kondisi kepepet. Ia menggunakan modal sendiri dengan resiko usaha ditanggung sendiri, tidak ada subsidi apapun dar pemerintah, dan memang ada pembeli terhadap barang/jasa yang ditawarkannya. Jadi dalam hal ini lingkungan yang rusak harus diselamatkan melalui upaya-upaya “pencegahan” munculnya PKL, bukan dengan “menggusurnya” setelah berkembang. PKL bukan “masalah” tetapi ”pemecahan” masalah kemiskinan.

  1. Kesimpulan kita, pendekatan terhadap masalah “pengurangan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan” atau sebaliknya terhadap “pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan strategi penanggulangan kemiskinan” selama ini kiranya salah dan tidak adil, karena melihat kemiskinan sebagai fakta tanpa mempelajari sumber-sumber dan sebab-sebab kemiskinan itu. Akan lebih baik dan lebih adil jika para peneliti memberi perhatian lebih besar pada sistem ekonomi yang bersifat “serakah” dalam eksploitasi SDA, yaitu sistem ekonomi kapitalis liberal yang berkembang di Barat, dan merajalela sejak jaman penjajahan sampai era globalisasi masa kini. Sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia adalah sistem ekonomi pasar yang populis dan mengacu pada ideologi Pancasila dengan lima cirinya sebagai berikut:

(1) Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;

(2) Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;

(3) Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;

(4) Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;

(5) Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

6 Oktober 2004


Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.

[1] Makalah untuk lokakarya terbatas (Expert Workshop), Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, 6 Oktober 2004.

Daftar Pustaka

Ravaioli, Carla & Paul Ekins, 1995, Economist and the Environment, Zed Books

--= mari kita berpihak pada rakyat ketjil =--

Friday, March 17, 2006

Di Bawah Gunung Kemakmuran

Pelaut Eropa terperangah melihat pucuk gunung bersalju di khatulistiwa. Saat mulai menjelajah, mereka menemukan emas terhampar di dasar sungai. Inilah awal Papua ditemukan dan menemukan masalah berkepanjangan.

Namun, bagi orang Papua, mereka ada di sana atas kehendak Tuhan. Para pelaut itu menemukan rahasia alam. Gunung bersalju mengingatkan mereka pada areal pertambangan di negerinya. Perut gunung bersalju itu mengandung material bernilai ekonomi tinggi. Itu gunung kemakmuran. Jika dikelola secara tepat niscaya memakmurkan siapa pun yang menguasai.

Penguasa gunung itu orang Papua. Bagi mereka, gunung itu bukan sekadar onggokan material untuk kebutuhan komersial. Mereka membangun nilai-nilai kultural, merumuskan kearifan lokal, dan merajut impian di bawah gunung kemakmuran itu. Ketika mereka memutuskan bergabung dengan NKRI, mereka berharap Pemerintah Indonesia mampu membantu mewujudkan impian mereka.

Apa yang terjadi? Alih-alih membantu mewujudkan impian. Melindungi orang dan alam Papua dari jarahan orang asing pun tidak ditunjukkan pemerintah. Orang Papua nyaris selalu didudukkan sebagai terdakwa atas segala kejadian di tanah mereka sendiri.

Penipuan publik

Tahun 1965-1969, saya hidup di Papua. Masih teringat fisik teman-teman sekolah dasar. Kurus, dekil, berpenyakit kulit, berbaju lusuh, tidak bersepatu. Saya menangis, saat 40 tahun kemudian masih menemukan sosok yang sama. Wajar jika kita bertanya, ke mana 40 tahun sejarah Papua?

Ironisnya, dalam kurun waktu itu kekayaan alam Papua dieksploitasi besar-besaran. Mayoritas hasilnya untuk membangun wilayah di luar Papua. Bandingkan kemajuan Jakarta 10 tahun terakhir dengan nasib Papua 40 tahun terakhir.

Awalnya konsesi pertambangan tembaga 20 tahun mulai tahun 1967. Konsesi itu diperbarui tahun 1991 dan diperpanjang 50 tahun hingga tahun 2041, wilayahnya pun dua kali lipat wilayah awal. Bisa dibayangkan jika alam Papua nan cantik menjadi porak poranda oleh nafsu mengeruk kekayaan alam di sana.

Faktanya, tahun 1973 tiap hari 7.257 ton tailing (limbah industri tambang) dibuang ke Sungai Ajkwa yang menjadi sumber kehidupan suku-suku di sekitar Timika. Tahun 1988 menjadi 31.000 ton tailing dan tahun 2006 melonjak menjadi 223.000 ton tailing per-hari. Kini, jangankan untuk mandi, ikan-ikan di sungai itu mati terkena tailing. Bahkan kebun sagu suku Komoro di wilayah Koperaporka mati.

Mengerikan. Melalui pipa raksasa dari Grasberg-Tembagapura, sekitar enam miliar ton pasir tembaga digerus dan disalurkan sejauh 100 kilometer ke Laut Arafuru, di mana kapal-kapal besar menunggu. Mereka tidak lagi menambang tembaga, tetapi emas. Pakar kimia UGM meneliti kandungan emas di pasir-pasir tembaga yang digerus, dan menghitung enam miliar ton pasir setidaknya menghasilkan enam ribu ton emas.

Mengapa pemerintah tidak pernah jujur menyatakan bahwa PT Freeport Indonesia menambang emas? Ini penipuan publik. Penggunaan nama kota Tembagapura seolah disengaja guna menutupi aktivitas sebenarnya. Wapres Jusuf Kalla menegaskan, yang ditambang adalah emas. Di sidang kabinet terbatas (6/3/2006), Wapres minta kontribusi Freeport ke APBN naik menjadi 300 persen karena kenaikan harga emas di pasar internasional.

Anehnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan, pendapatan kontrak karya Freeport dari pajak dan non-pajak sepanjang 2005 adalah 800 juta dollar AS atau sekitar Rp 7 triliun. Mengapa tak pernah membayangkan berapa yang akan kita dapat jika dikelola sendiri?

Perisai kapitalis

Angka 800 juta dollar AS terlalu kecil buat kita. Lihat compensation (bukan gaji) tiap tahun untuk Chairman of the Board Freeport sebesar 9.509.183 dollar AS; Chief of Administrative Officer 1.756.159 dollar AS; Chief Operating Officer 815.554 dollar AS; dan President Director of Freeport Indonesia 1.641.877 dollar AS. Untuk kompensasi empat pejabat Freeport saja jumlahnya 13.722.773 dollar AS. Bandingkan dengan dana keamanan selama 1996-2004 yang hanya 20 juta dollar AS. Artinya, aparat keamanan kita hanya kecipratan 2,5 juta dollar AS setahun.

Dengan nilai serendah itu, Pemerintah Indonesia dijadikan perisai kapitalis menghadapi rakyatnya sendiri. Kata Menlu RI, berulang kali Pemerintah AS menegaskan, Papua merupakan bagian NKRI. Bagi AS akan lebih repot berurusan dengan Papua sebagai negara mandiri daripada berurusan dengan Indonesia.

Jika Papua berdiri sebagai satu negara, AS berkonflik langsung dengan bangsa Papua. Namun, jika Papua dalam NKRI, Pemerintah Indonesia yang menghadapi segala gejolak akibat pengisapan kaum kapitalis di Papua. Pemerintah AS bisa memainkan dua kartu di sini.

Tengok saja. Saat orang Papua mengais rezeki, menambang tailing di Kali Kabur Wanomen, mereka dihalau secara kasar oleh Satpam PT Freeport dan aparat keamanan Indonesia, mereka ditembak dan jatuh korban. Tidak terbayangkan, yang mereka usir adalah saudara sendiri yang mengais secuil rezeki dari limbah gunung kemakmuran milik kita. Apakah untuk mendapat emas sebesar butir pasir di limbah industri PT Freeport rakyat Indonesia harus kehilangan nyawanya?

Rasa sedih menyergap manakala disadari ada kota modern, Kuala Kencana, dekat Timika, tempat para petinggi PT Freeport bersemayam. Sementara 6-7 kilometer dari kota itu ada rumah yatim piatu Papua yang taraf kehidupannya sama seperti sebelum mereka ”ditemukan”. Dalam radius itu, bisa ditemukan saudara-saudara kita yang masih mengenakan koteka.

Pemerintah seakan bermuka dua terhadap Papua. Kita gerus gunung kemakmuran berdalih kemakmuran negara, tetapi membiarkan saudara-saudara hidup seperti di zaman batu untuk memelihara nilai budaya. Papua adalah kebanggaan NKRI. Wujudkan rasa bangga itu di dada orang Papua. Jangan mereka dipaksa mencari kebanggaannya sendiri.

Riswandha Imawan
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Sunday, March 05, 2006

@ 015 : Bekerja dan Mengabdi

Bekerja dan mengabdi adalah dua hal yang bisa dikatakan beda. Bekerja biasanya motivasinya adalah uang, sedangkan mengabdi adalah bekerja yang motivasinya bukan uang.

Di Jogja banyak orang mau mengabdi kepada keraton dengan gaji 30 ribu satu bulan. Mereka menemukan ketenangan batin tanpa harta yang berlimpah dengan menjadi abdi dalem. Hal ini dapat kita lihat dari konsistensinya mengabdi selama 20 sampai 30 tahun, bahkan lebih.

Menjadi guru bagiku adalah suatu pengabdian, ada kebahagiaan dan kesenangan tersendiri meski materi tak seberapa kudapat. Melihat murid dan menjelaskan sesuatu di depannya, membuat mereka bingung sekaligus mengerti, berusaha membantunya menjadi orang yang sukses jasmani dan rohani menimbulkan rasa bangga dan senang dalam hati ini.

Bertahan dalam gempuran kaum materialistis memang tidak mudah. Industrialisasi telah memaksa orang berprilaku konsumtif. Tak sedikit mereka mengorbankan harga dirinya demi sesuatu yang disebut materi. Padahal nilai sejati manusia itu terletak pada akal yang tercermin dari moral bukan materi.

Di sinilah sebenarnya kita bisa belajar bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup itu tidak selalu terukur dari materi bukan.


--= belajarlah mengabdi =--

(c) dps