Friday, March 24, 2006

Buruh

Revisi UU 13/2003 Ciptakan Perbudakan

sumber : Pikiran Rakyat - Jumat, 10 Maret 2006

BANDUNG, (PR).-
Upaya pemerintah merevisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak terlepas dari tekanan negara-negara kapitalis, dalam upaya menciptakan tenaga kerja murah dan meningkatkan keuntungan mereka berinvestasi di Indonesia. Upaya itu dikemas seolah menciptakan iklim investasi untuk mendorong pembangunan nasional.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN), Bambang Wirahyoso kepada "PR", menanggapi aksi demo yang dilakukan kaum buruh di Gedung Sate Rabu (8/3) dan Kamis (9/3). Menurut dia, salah satu pasal yang mencerminkan penilaian itu adalah legalisasi praktik outsourcing yang merupakan suatu bentuk praktik perbudakan modern.

"Pemerintah telah menjadi kuda tunggangan kapitalis, predator internasional dan neoliberalisme," ujarnya kepada "PR", Kamis (9/3) di Bandung.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan filosofi dasar bangsa kita, Pancasila dan UUD 1945. Negara kita bukan kapitalisme atau liberalisme. Tetapi dengan merevisi UU No. 13 Tahun 2003 justru mereduksi hak-hak buruh sehingga bertentangan dengan filosofi dasar sebagaimana dimaksud.

Tidak heran, kata dia, jika kebijakan outsourcing yang tercantum dalam Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan mengganggu ketenangan kerja bagi pekerja, yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menganggap mereka sekadar komoditas, dan UU dipandang kurang protektif terhadap pekerja.

"Artinya, UU Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang memberikan hak bagi warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak," ungkap Bambang.

Hal lain yang merugikan yakni revisi pasal 156, di mana telah terjadi pengurangan nilai perhitungan kompensasi (pesangon). Dalam satu komponen pesangon khusus perhitungan masa kerja terjadi penurunan dari maksimal 9 kali upah menjadi 7 kali upah.

"Ini tentu membuat pekerja yang telah mengabdikan diri kepada perusahaan tidak mendapat penghargaan yang layak," ungkap Bambang. Oleh karena itu, diungkapkan Bambang, SPN beserta sembilan serikat pekerja lain yang tergabung dalam Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak dengan tegas revisi UU tersebut.

Sementara itu, di Gedung Sate, aksi penolakan terhadap revisi UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 terus disuarakan oleh para pekerja. Kali ini, dilakukan oleh sekira seratus orang pekerja yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (F-SBSI) 1992 Kota Bandung di halaman Gedung Sate, Jln. Diponegoro Bandung, Kamis (9/3).

Aksi yang dimulai sekira pukul 9.30 WIB itu diwarnai pendobrakan pintu gerbang Gedung Sate dan pembakaran ban. Hal itu sebagai bentuk kekecewaan mereka karena tidak berhasil bertemu dengan perwakilan dengan komisi terkait di DPRD Provinsi Jabar. Akibatnya, mereka menggedor-gedor pintu gerbang hingga pagar besi itu ambruk.

Untuk menghindari massa SBSI masuk ke Gedung Sate, aparat kepolisian Polwiltabes Bandung membuat barikade cukup ketat. Secara bersamaan pula, petugas pengamanan mendirikan kembali pagar besi yang ambruk itu. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat pengunjuk rasa. Mereka membakar dus dan ban. Namun, tidak berselang lama, petugas pun langsung memadamkan api.

Menurut Koordinator SBSI Jabar, Tatang Rochyana dan Gunawan, koordinator aksi, mereka menolak secara tegas revisi UU No. 13 Tahun 2003 karena hal itu hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha dan merugikan kaum pekerja.

Contohnya, kata Tatang, revisi peraturan tersebut menghilangkan hak cuti, pesangon, pengekangan hak mogok kerja akibat adanya sanksi pemutusan hubungan kerja dan ganti rugi. Selain itu, pesangon tidak akan dibayarkan kepada pekerja apabila perusahaan mengalami force majeure serta penghilangan sistem uang pensiun.

Untuk itu, lanjut Tatang, mereka mendesak Pemprov dan DPRD Jabar mendukung penolakan pembatalan revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang merugikan pekerja. Salah satunya, dengan mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah pusat agar membatalkan revisi tersebut. (A-151/A-136)***

No comments: