Wednesday, June 06, 2007

@ 040 : SBY dan Hak Interpelasi DPR

Presiden SBY memutuskan tidak hadir dalam sidang interpelasi masalah nuklir Iran yang digagas oleh DPR. Pemerintah mengirimkan tujuh menterinya. Sidang berlangsung panas dan diwarnai interupsi. Untuk menghindari kericuhan, lampu ruang sidang sempat dimatikan oleh sekjen.

DPR tidak bisa menerima ketidakhadiran presiden. Dianggap presiden telah melecehkan wakil rakyat. Sidang paripurna akhirnya ditunda dan diserahkan kembali ke Bamus (Badan Musyawarah) untuk dijadwal ulang.

Pada hari yang sama, presiden menggelar konferensi pers di kantornya. Dalam pernyataannya beliau mengatakan sungguh-sunguh ingin menjawab pertanyaan DPR dengan baik dan tepat. DPR diminta untuk membenahi masalah internal yang terjadi.

Masalah internal itu terindikasikan lewat penundaan sidang akibat adanya perbedaan interpretasi dalam memahami tata tertib. Ali Mochtar Ngabalin dalam kupas tuntas mengatakan tidak ada masalah internal dalam tubuh DPR.

Apa susahnya SBY hadir? Menurut Andi Malarangeng ada tiga landasan. Pertama, tradisi politik sebelumnya membenarkan hal ini. Kedua, tata tertib membolehkan. Dan yang terakhir, dalam sistem pemerintahan presidensiil presiden hadir ke DPR hanya satu kali dalam setahun. Yaitu setiap tanggal 16 Agustus ketika presiden menyampaikan anggaran.

Sampai saat ini, Presiden SBY tercatat sudah empat kali menghadapi sidang interpelasi. Keempat sidang tersebut yaitu : kebijakan pergantian panglima ABRI, impor beras, terjadinya busung lapar dan dukungan terhadap resolusi DK PBB terkait isu nuklir Iran. Semuanya tidak ada yang dihadiri secara langsung oleh presiden.

Drama berlakon eker-ekeran telah dipertontonkan oleh para elite di negeri ini. Hal seperti itu bukanlah teladan baik bagi rakyat Indonesia yang pada dasarnya cinta damai bukan cinta keributan.

Apakah sebenarnya yang diperebutkan dari semua ini. Tidak mudah untuk menjawabnya. Politik adalah sesuatu yang susah ditebak seperti sepakbola. Di dalam politik mengenal suatu teori tidak ada kawan ataupun lawan yang ada hanyalah kepentingan.

Lantas kepentingan apa itu? Upaya delegitimasi presiden sebelum waktunya. Kucuran uang yang mengalir saat sidang. Langkah mengamankan posisi bagi politisi untuk periode mendatang. Ketidakpuasan akibat pergantian kabinet beberapa waktu lalu. Atau perjuangan aspirasi dalam rangka membangun komunikasi politik.

Jika konflik politik tingkat tinggi seperti diatas terus dibiasakan dan dipelihara tentu stabilitas nasional akan sering terganggu. Kalau sudah begini, bagaimana pemerintah bisa melaksanakan pembangunan. Jika pembangunan tersendat, bagaimana nasib rakyat kecil? tetap terlindas, tragis dan mengenaskan, bukan.

Kawula alit / rakyat kecil tidak mengerti apa-apa. Yang mereka butuhkan adalah kesejahteraan lewat terjaminnya kebutuhan pokok. Cukup sandang, cukup papan, cukup pangan, cukup pendidikan dan kesehatan. Untuk mewujudkan hal tersebut tentu diperlukan suasana yang kondusif.

Kenapa kita bangsa yang pada dasarnya adalah bangsa yang ramah, sopan santun dan selalu bergotong-royong, bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan tiba-tiba menjadi bangsa yang suka ribut.

Rakyat (khususnya saya) sangat merindukan pemimpin / pemegang amanah yang jujur kepada dirinya dan rakyat kecil. Kejujuran yang mulai langka tergerus kemunafikan. Kejujuran yang harus kita lestarikan mulai dari diri sendiri, hal terkecil dan sekarang juga. Ingat, kelak setiap diri akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir.

(k) dPs~
Kemayoran - Jakarta, 06 Juni 2007 - 04:00

No comments: