Monday, June 04, 2007

@ 039 : Memberi Nama Anak

Nama adalah doa. Kepercayaan itu telah mengakar kuat di benak masyarakat sejak dahulu hingga kini, seolah kekal tak lekang terlindas zaman. Jika tidak percaya tanyakan kepada mbah buyut, eyang, pak dhe, bu lek, teman atau tetangga asal jangan pada rumput yang bergoyang saja.

Seorang anak berhak memperoleh nama yang baik. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “seseorang datang kepada Nabi(SAW) dan bertanya,”Ya Rasululloh, apa hak anakku ini?” Nabi SAW menjawab,”Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu)”.” ( HR Aththusi ).

Berdasar hadis tersebut tidak diharuskan memberi nama anak dengan bahasa Arab. Artinya orang bebas memakai bahasa apapun (syaratnya harus baik) saat memberikan nama kepada anak. Bisa bahasa Jawa, Madura, Sunda, Batak dan lain sebagainya. Dari sinilah proses sesat pikir sering terjadi. Akibatnya muncul pemahaman dan kepercayaan bahwa nama anak dengan bahasa Arab itu lebih baik daripada bahasa yang lainnya.

Di Arab orang mengumpat, dugem, menggoda cewek, marah-marah, atau berdoa di gereja menggunakan bahasa Arab. Orang acap kali salah mengerti. Bahasa Arab disakralkan karena anggapan kitab suci ditulis dengan bahasa tersebut. Padahal bahasa Arab adalah hanya bahasa biasa, layaknya bahasa-bahasa lainnya. Islam tidak hanya identik dengan bahasa Arab.

Zaman sekarang, mengapa orang tua lebih senang memberi nama kepada anak jika tidak kearab-araban ya kebarat-baratan. Fenomena apakah ini, mari kita telusuri bersama.

Relegius atau Ingin Dianggap Relegius?
Adanya anggapan bahwa nama anak berbahasa Arab itu lebih relegius. Orang tua memberi anaknya nama dengan bahasa Arab dengan motivasi ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungannya. Pengakuan tentang relegiusitas terhadap keluarganya.

Seolah-olah semakin aneh bin njlimet nama seorang anak berarti semakin agami kehidupan suatu keluarga tersebut. Pengakuan seperti ini yang diinginkan. Keagamaan diletakkan pada nilai tertinggi dalam sebuah keluarga meski hanya syariat atau simbolisasi saja. Hal seperti itu adalah borok yang harus disembuhkan.

Tidak semua demikian memang sebab ada juga orang yang benar-benar relegius yang memberi nama kepada anaknya menggunakan bahasa Arab.

Kenapa peristiwa seperti diatas bisa terjadi? Hal ini tak lepas dari terjadinya pembaharuan dalam memahami ajaran Islam. Pembaharuan tersebut mengajak setiap manusia agar kembali mengamalkan Islam secara total. Baik dari segi negara, hukum, ekonomi hingga ruang pribadi sekalipun. Termasuk urusan memberi nama kepada anak.

Islam yang dimaksud disini adalah Islam yang sama dan sebangun dengan Arab. Mereka beranggapan kebudayaan yang Islami itu adalah seperti di Arab.

Kaum pembaharu ini biasanya memanjangkan jenggot, dahinya hitam karena ngapal. Sementara yang perempuan berkerudung gombrong / lebar. Waktu ngobrol lazim terselip kata ikhwan, akhwat, antum dan ana (untuk kata ganti laki-laki, perempuan, kamu dan saya). Ikhwan dan akhwat tidak mau bersentuhan saat berjabat tangan sebab menurutnya hal tersebut tidak diperbolehkan. Pendeknya mereka menunjukkan identitas Islamnya secara tegas. Islam yang sama dan sebangun dengan Arab.

Modern atau Ngawur?
Pada golongan kedua terdapat orang tua yang memberi nama kepada anak ala kebarat-baratan. Sama seperti penjelasan diatas bedanya disini motivasi orang tua tersebut adalah modernitas. Nama Indonesia asli seperti Bejo, Cecep, Hutagalung dianggap kuno dan kadaluwarsa. Ibarat barang yang tak mempunyai nilai jual.

Pandangan seperti ini tak lepas dari globalisasi tentunya. Kemajuan dunia barat telah menciptakan kiblat baru. Seperti agama, kemajuan tersebut juga menembus ruang pribadi keluarga. Sampai urusan memberi nama kepada anak. Orang tua seperti ini biasanya adalah bule Indonesia.

Apakah memang betul nama Robert itu lebih modern daripada Bejo. Suatu kemajuan atau kengawurankah ini? Tak usah dijawab simpan saja dalam hati.

Hilangnya Budaya
Jika hal-hal seperti diatas terus terjadi maka hilanglah budaya asli kita yang konon adi luhung. Kelak kita akan menyaksikan Sharon Ashiyah Keizha dengan rambut disemir merah, memakai celana levis sedang makan pizza hut sambil minum kopi starbucks diiringi musik hip-hop di sebuah X mal.

Sementara itu dilain tempat terlihat pria berpenampilan gaya Arab. Namanya Fakhri Ghassan. Ia berkenalan dengan sohibnya disebuah acara kajian. Ucapnya : "Nama ana adalah Fakhri Ghassan bukan Pahri Hasan, ikhwan dan akhwat sering salah sebut lho, jadi harap antum faham ya".

Jika kedua orang tersebut adalah peranakan bule atau Arab tentu wajar-wajar saja. Tapi jika bapaknya asli Wlingi-Blitar dan Ibunya asli Solo tentu ini tidaklah lucu.

Selain doa nama juga merupakan identitas. Untuk dijadikan pembeda antara manusia satu dengan yang lainnya. Antara orang Indonesia, Arab atau Barat.

Makanan asli kita terpinggirkan, bahasa kita tersisih, pakaian kita tergusur dan gaya hidup kita terimitasi. Jika nama kita juga tergadaikan lantas bagaimana kita dikenal sebagai orang Indonesia.

Dalam hal pelestarian budaya, disadari atau tidak orang tua yang menamai anaknya dengan bahasa bangsa Indonesia yaitu bahasa Jawa, Madura, Sunda, Batak lebih berperan dibanding dengan orang tua yang menamai anaknya dengan bahasa Arab atau Barat.

Bagaimana dengan nama Sabklitinov yang berarti Sabtu Kliwon Tiga November...

(k) = karya

(k) dPs~
Palmerah - Jakarta, 05 Juni 2007 - 18:00

1 comment:

Anonymous said...

Kaum pembaharu ini biasanya memanjangkan jenggot, dahinya hitam karena ngapal. Sementara yang perempuan berkerudung gombrong / lebar. Waktu ngobrol lazim terselip kata ikhwan, akhwat, antum dan ana (untuk kata ganti laki-laki, perempuan, kamu dan saya). Ikhwan dan akhwat tidak mau bersentuhan saat berjabat tangan sebab menurutnya hal tersebut tidak diperbolehkan. Pendeknya mereka menunjukkan identitas Islamnya secara tegas. Islam yang sama dan sebangun dengan Arab.

"Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tak halal baginya" (HR. Al Baihaqi, dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no.226)

"Dari Ibn Umar Radiyallahu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Barangsiapa yang menyerupai satu satu kaum, maka ia telah menjadi golongan mereka". HR Ahmad, Abu Daud dan at Tabrani. "Dari Abi Hurairah Radiyallahu ‘anhu: Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Bahwasanya ahli syirik memelihara kumisnya dan memotong jenggotnya, maka janganlah meniru mereka, peliharalah jenggot kamu dan potonglah kumis kamu". HR al Bazzar.

"Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : Janganlah kamu meniru (menyerupai) orang-orang Majusi (penyembah berhala) karena mereka itu memotong (mencukur) jenggot mereka dan memanjangkan (memelihara) kumis mereka". HR Muslim.

"Tipiskanlah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu. Di riwayat yang lain pula : Potonglah kumis kamu dan peliharalah jenggot kamu". HR al Bukhari. dan masih banyak lagi yg lainnya.

itulah dasarnya mas bukan menurut mereka/ mengekor ke bangsa arab tapi memang sesuai apa yang disunnahkan oleh Rosulullah.. :)

Barokallahu fi kum