Sunday, December 17, 2006

@ 030 : Mbah Yem hanya Jual Pecel

Pagi itu cuaca cerah, sejuk, dan tenang, hanya satu dua kendaraan saja yang melintas di jalanan ibu kota. Seperti biasa hari libur seperti ini aku gunakan untuk berolahraga di monas, lari-lari kecil sambil mengenolkan pikiran ruwet yang masih singgah di kepala. Badan sehat dan pikiran yang tenang adalah nilai mahal buat warga ibu kota. Mengapa ? tekanan rutinitas yang tinggi mungkin salah satu penyebabnya.

Sehabis olahraga kegiatan berikutnya adalah mencari makanan atau barang-barang seperti kaos, baju, sandal, dan aneka pernik yang disediakan pedagang kaki lima. Belanja di pinggiran seperti ini membawa kenikmatan tersendiri. Selain harganya murah, barang-barang tersebut juga belum tentu ada di mal atau supermarket.

Sebut saja namanya mbah Yem, usianya sudah tidak muda lagi. Kerut di wajahnya sekilas menggambarkan betapa kerasnya hidup yang beliau jalani. Putaran waktu perlahan mengikis parasnya dan mengantar mbah Yem ke ujung kehidupan, dambaan setiap insan tentu saja.

Di usianya yang senja, mbah Yem tidak seperti mbah-mbah yang lain. Kalau mbah-mbah yang lain menikmati hari tuanya di rumah, dihibur cucu, dirawat anak dan menantu maka tidak demikian dengan mbah Yem, masa tuanya beliau habiskan di jalan untuk jual nasi pecel.

Segera aku pesan satu kepadanya, nasi pecel yang enak susah dicari di kota ini. Sayur, sambal, peyek dan tempe goreng racikan mbah Yem ini asli, asli buatan kampung tidak seperti pecel restoran. Bungkusnya-pun menggunakan daun pisang bukan kertas.

Belum lama kusantap pecel pincuk buatan mbah Yem datang beberapa petugas tramtib menertibkan keadaan. Rupanya para pedagang kaki lima termasuk mbah Yem ini dianggap berdagang melintasi batas wilayah yang dibolehkan. Hal ini membuat petugas tramtib tersebut marah. Mbah Yem-pun kena getah, beliau dibentak-bentak si kupret oknum tramtib itu.

Kurang lebih seperti ini, "Mbah jangan disini dong jualannya, agak kesana, udah tua gak tahu diri juga, entar aku bawa nich dagangannya" ketus si kupret dengan nada tinggi. Semua terjadi di depanku, seorang tua yang disisa umurnya berjuang untuk menyambung hidup dibentak-bentak oleh si kupret muda dan semua orang membiarkannya termasuk aku yang hanya diam menyaksikan, bodoh sekali memang aku ini.

Apakah si kupret itu tidak pernah diajari sopan santun, apakah si kupret itu tidak mengerti arti tata krama, apakah si kupret itu tidak akan tua dan menjadi tua seperti mbah Yem, apakah si kupret itu harus represif kepada orang seperti mbah Yem, apakah si kupret itu tak berhati, benar-benar kupret si kupret itu.

Mbah Yem, di penghujung usiamu ini, dimanakah anak cucumu, dimanakah sanak saudaramu. Tetesan keringat dan perjuanganmu dalam hidup ini sungguh mulia. Tak sepantasnya dirimu diperlakukan seperi ini meski atas nama ketertiban sekalipun. Dirimu tidak mengganggu ketertiban, dirimu tidak merepotkan, dirimu bukan penjahat, dirimu adalah orang yang mulia.

Ya Allah, ampunilah dosa mbah Yem, lindungilah beliau, bimbinglah, dan tempatkan beliau di tempat yang mulia disisi-Mu, Amin...

(c) dps ~
Palmerah - Jakarta, 18 Desember 2006 - 0:47

No comments: